1 min dibaca
21 Jul

Kurang lebih tiga puluhan tahun aku merasa dalam kehangatan cinta orangtua dan keluargaku. Rasanya aku masih dalam rahim, tak ada yang bisa merasakan senyaman diriku.
Mereka sangat mengasihiku dengan cinta yang begitu kuat. Saat sakit tiba tak satupun berani beranjak meninggalkanku. Oh keluargaku, kalian cinta pertamaku.
Sejak kepergian ayahku 20 tahun silam, aku merasa cinta berkurang. Ayah adalah sosok pujaanku. Menghembus nafas terakhir aku tak melihatnya sampai tubuhnya bersatu dengan tanah, seolah aku dilahirkan buta karena tak bisa melihatnya secara langsung.
Delapan bulan lalu aku kehilangan ibu. Aku mengalami hal yang sama. Aku hanya melihat ibuku terbujur kaku dari layar Handphone. Aku tak bisa duduk di samping peti jenasahnya sekedar menatap dan menghantarnya untuk terakhir kalinya.
Dua pengalaman yang sama, terasa luka begitu mendalam saat semua itu hanya dikenang. Rasanya terlalu berdosa karena tidak bisa membalas sedikit rasa cinta mereka.
Sejak kematian dua orang hebatku ini rumah terasa kehilangan kehangatan cinta. Dahulu selalu ada rindu untuk kembali, kini seperti aku kehilangan rumah dan keluargaku sehingga selalu menunggu kapan rindu itu datang dan aku bisa kembali.
Terasa berat karena sekalipun kami dilahirkan dari rahim yang sama namun kami bertujuh memiliki karakter yang jauh berbeda. Kadang kami akur namun lebih banyak dan lama kami bertengkar karena hal sepele. Kami egois dan lupa semua nasihat orang tua kami. Rasanya kami hanya bersyukur dilahirkan tanpa peduli siapa orang tua dengan segala nasihat baiknya.
Kadang kami saling diam. Kami kehilangan kata karena kami bisu. Hanya bisa memandang, namun tak tahu siapa yang harus memulai mengucap maaf. Ah.... biarlah waktu dan jarak mungkin akan menjawabnya entah kapan. Satu saja harapan semoga kehangatan itu datang lagi saat semua mau memaafkan.


Di tegah rapuh dan kehilangan itulah Tuhan menghadirkan kalian sebagai orang'orang baik dalam hidupku. Pada waktu yang tepat saya menemukan kalian dan sungguh sebuah berkat istimewa kalian memberi warna berbeda.
Kalian tidak serahim denganku namun kalian melebihi mereka yang sekandung denganku. Kalian bukan orang hebat namun kalian luar biasa menerimaku apa adanya dan mencintaiku secara sederhana tanpa melihat siapa diriku.
Terkadang aku merasa tak ada lagi rasa sungkan bila bicara dan bertindak yang bagi kalian tidak wajar. kadang aku marah tanpa sebab dan kalian terluka namun kalian diam sambil menetes air mata. Kadang aku terlalu sayang dengan kalian melebihi saudara kandungku karena memang itu apa adanya mengalir dari hatiku.
Kalian adalah orang tuaku, ibuku, ayahku, saudaraku lelaki. Kalian adalah adikku serta abangku. Semua kalian adalah kelurgaku dan dengan keyakinan tak satupun melukaiku karena rasa benci.


Aku menulis ini karena aku menemukan kekuatanku lagi. Aku tidak sendiri lagi karena ada kalian. Biarkan ungkapan rasa ini mengalir sekedar membasahi rasamu agar jangan kalian bosan mengasihiku seperti aku mengasihi kalian.
Jika ada air mata yang jatuh karena aku biarkan ia tetap di tanah karana aku yakin ia akan hilang saat panas dan debu datang. Maafkan aku pastormu, kakamu, abangmu, sahabatmu dan kekasih imanmu ini.
Namun jika suatu saat kalian pergi karena terluka karena kata dan tindakanku maka satu yang bisa ku buat adalah mendoakan kalian agar rasa sakitmu jangan kau bawa hingga akhir hidupmu.


Terimakasih untuk cinta dan kasih kalian. Tataplah bulan saat engkau ingin malam ini indah selamanya. Dan katakan pada rembulan itu, hiasilah kami di malam gelap dengan cahayamu agar bila pagi tiba kami melihat dari ujung timur ada yang baik yang masih terseyum untuk kami.

Teriring salam hangatku

Janssen. O.Carm.

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.