2 min dibaca
19 Mar
19Mar

Suara Keheningan | Yancen Wullo

Liburan bagiku adalah saat yang paling indah dan membahagiakan. Bisa Bale nagi dalam tutur bahasa ibuku yang berarti pulang kampung, berjumpa dengan orang tua serta sanak keluarga. Memori masa lalu terungkap dalam cerita demi cerita. Ada gelak tawa ria namun ada duka dan air mata dalam diam mengenang sejuta kepahitan hidup. Di mana-mana terdengar, orang berbicara dalam bahasa daerah dengan logat dan dialek yang khas. Cerita tentang berkebun, berburu, menanam kemiri dan membuat jagung titi atau makanan khas Lembata yang membuatku semakin menikmati suasana kampungku.

Sekalipun hujan emas di tanah orang, hujan batu di tanah sendiri, jangan lupa bale nagi . Katon Bagaskara dalam lagunya “Negeri di awan”

Kau mainkan untukku 

Sebuah lagu tentang negeri di awan, 

Di mana kedamaian menjadi istananya 

Dan kini tengah kau bawa aku menuju kesana 

Atakowa: Kampung di atas awan

Rindu pulang ke kampung Atakowa, kampung halamanku. Kampung kecil di kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata. Jauh di sana. Bukan kampung khayalan tetapi kampung impian. Kampungnya di atas awan? Nama Atakowa (ata dan Kowa), kata dalam Bahasa Lamaholot. Unik artinya,  ata berarti orang sedangkan Kowa berarti Awan. Dari morfologinya, arti kata atakowa dijelaskan sebagai kampung yang dihuni oleh orang-orang yang berasal dari awan.

Atakowa adalah salah satu kampung di antara delapan hunian di wilayah Leragere (Lera: Matahari dan Gere: terbit). Letak Atakowa di atas 500 meter tepatnya di atas puncak bukit dengan lereng yang panjang dan terjal. Letak secara topografi inilah yang memungkinkan terbentuknya kabut lereng yang selalu muncul sebagai sebuah pemandangan yang biasa.

Baik musim hujan maupun kemarau Kampung Atakowa selalu diselimuti kabut. Kampung berkabut. Hampir enam belas jam setiap hari, seluruh wilayah kampung tertutup kabut. Ada yang menarik, sepanjang kabut menyelubungi kampung Atakowa, sosok orang tidak terlihat jelas. Orang-orang yang berjalan keluar kampung terlihat seolah-olah keluar dari gumpalan awan. Inilah asal muasal kenapa nama Atakowa digunakan. Orang yang menerobos kabut tebal dianggap keluar dari gumpalan awan. Kami orang Atakowa tinggal di bumi tetapi merasa di atas awan.

Tinggal di bumi tetapi merasa ada di atas awan 

Inilah ungkapan sederhana orang kampung yang bijaksana. Akupun belajar bahwa Ilmu membuatku semakin pintar, tetapi pengalaman menjadikanku bijak. Mereka berkata benar, ungkapan kerinduan menjumpai kebijaksanaan hidup. Mereka tinggal di bumi, tetapi rasa ada di awan, di atas, tempat yang tinggi. 

Kita saat ini di sini, di tempat ini. Ya, di bumi ini. Namun Bumi hanya dipijak, jiwa berjalan dan terangkat. Kerinduan terdalam seorang ciptaan untuk berjumpa dengan sang pencipta.

Rindu untuk pulang ke kampung di atas awan sesungguhnya sebuah rasa menggapai Contemplatio. Pengalaman akan Allah yang begitu kuat mengubahku. Badan ada di bumi tetapi jiwa berjalan dalam kabut awan seperti keluar dari gumpalan awan untuk berjumpa dengan Pencipta. 

Badan dijaga, namun jiwa terpelihara. 

Badan dirias, namun jiwa ditumbuhkan. 

Tanah mestinya kita pijak tetapi jiwa mesti mengarah kepada Dia. 

Baiklah kita dirikan kemah di atas awan bersamaNya.

Katon Bagaskara, melanjutkan nyanyian negeri di atas awan:

Dibayang wajahmu 

Kutemukan kasih dan hidup 

Yang lama lelah, aku cari

Di masa lalu

Kau datang padaku 

Kau tawarkan hati nan lugu 

Selalu mencoba mengerti hasrat dalam diri 

Ternyata hatimu 

Penuh dengan bahasa kasih 

Yang terungkap dengan pasti 

Dalam suka dan sedih 

Kampungku di atas awan, kampung di mana ada keindahan, ada WAJAHNYA, kubahagia karena kutemukan HATI dalam Bahasa kasih yang terungkap dengan pasti.

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.