2 min dibaca
08 Apr
08Apr

Suara Keheningan | Yancen Wullo

Benih-benih itu tumbuh pada himpitan batu cadas. Tandusnya tanah, terik matahari, serta kurangnya air, tidak sedikit banyak membantu benih itu bertumbuh subur. Namun demikian, benih itu tetap tumbuh meskipun kerdil. Beberapa orang melihatnya namun tidak menarik hati. Bagi mereka, jauh lebih baik dan berguna bila meninggalkan sebagian benih itu dan pergi pada hamparan luas sawah yang menjanjikan masa depan yang cerah bagi anak cucu mereka. Benih itu pun tumbuh tidak terawat sehingga berbuah dalam jumlah yang kecil dan seadanya. Belum lagi datang burung-burung memakannya serta kerusakannya. Beberapa benih yang tersisa dari buah itu jatuh lagi pada lahan yang sama dan berjuang hidup sebagaimana sejarah adanya. Terhimpit namun tidak mati.

Sejarah pada tujuh puluh tahun silam ini, terus menjadi kisah hidup yang menginspirasiku. Benih-benih itu tidak kelihatan lagi, atau bahkan tidak ditemukan pada tempatnya. Angin telah menerbangkannya, air membawanya, burung dan binatang lain telah menyantap dan menjatuhkannya pada tempat yang tidak diketahui. Benih pemula telah melahirkan sejuta bibit baru bukan pada tempat yang sama. Bibit baru telah terpencar dan saat ini banyak generasi lahir darinya dan sedang berbuah serta dinikmati oleh begitu banyak orang.

Kampung Bama di Flores bagian timur, saat ini mempunyai kisah yang berbeda. Kampung dengan hamparan sawah di pinggiran laut menjadi keindahan yang eksotik. Orang Larantuka (nagi) tahu bawah di Bama itulah sumber air minum untuk wilayah Larantuka dan sekitarnya. Ae Bama (sumber air di Bama) mengairi sawah, menumbuhkan tetumbuhan, menghidupkan ribuan manusia yang kekurangan air. Bama sebuah perkampungan kini bisa berbagi hidup. Batu-batu besar yang berserakan kini menjadi dasar bangunan rumah yang kokoh dan megah. Banyak orang mencarinya, sedang yang di pinggir jalan kini menjadi hiasan, dan menjadi tempat duduk yang nyaman di tepi pantai bagi penikmat keindahan panorama itu. Kisah yang terhimpit tidak pernah mati.

Tujuh puluh tahun yang lalu ada benih yang jatuh dan tumbuh di sana. Di kampung Bama itu ada kehidupan. Entah datang pada waktu orang tidak mengetahuinya, namun benih itu disiapkan bagi hidup dan masa depan. Benih yang tak pernah meminta untuk mengawali sejarahnya demikian, ia tidak menyangkal, bahkan menerima sejarah sebagai bagian hidupnya. Mengenang sejarah, berarti mengenang kehidupan dan kelahiran. Ia yang pernah datang, kini ada dan terus menjadi bagian hidupku. Ia adalah ibuku yang kukenang kelahirannya pada usia ke tujuh puluh tahun. Ibuku Lahir di kampung Bama dan bertumbuh dalam kehimpitan serta kerasnya perjuangan hidup namun tidak pernah mati dalam cara untuk hidup generasinya.

Aku tidak memilih sendiri ibuku dan keluargaku. Tiba-tiba saja terlahir sebagai seorang anak keenam dari ibuku. Pada usia senjanya aku pernah berpikir demikian. Andai aku dilahirkan kembali dan boleh sendiri memilih siapa ibuku, apakan aku masih memilih ibuku yang kumiliki saat ini?Tidak ada jawaban selain menerima dan mensyukurinya.

Dia seorang perempuan yang biasa namun punya cinta yang luar biasa. Anak yatim piatu, dibesarkan dalam lingkungan yang serba susah ekonomi dan pendidikan. Menjual batu-batu cadas adalah pekerjaannya sejak kecil. Makanan seharian adalah nasi jagung, biji asam dan umbi-umbian hutan. Hidup yang demikian membuatnya putus sekolah. Yang dipikirkan adalah bagaimana bisa bertahan hidup dengan segala kemampuan yang ada. Duduk di bangku sekolah SLTP adalah harapan besarnya, namun tidak digapainya. Biaya terbatas dan susahnya mendapatkan uang. Tuntutan kecerdasan ilmu di sekolah bukan lagi menjadi prioritasnya. Yang terpenting bisa makan dan bisa bertahan hidup. Bahagiaku adalah bisa makan dan bisa bekerja untuk hidupku. “Hidup saat itu susah namun kami tidak mati. Kami terhimpit kesusahan namun kami tetap hidup hingga saat ini. Perjuangan menjadikanku bertahan dan menemukan makna hidup”. Itulah yang sering terdengar dalam setiap nasihat bagi kami anak-anaknya..

Memutuskan untuk menjadi seorang perantau di tanah orang adalah pilihannya. Sekedar mencari pengalaman. Berjumpa dengan sulitnya hidup menjadi hal yang biasa. Tidak ada beban apalagi berusaha meninggalkan kenyataan hidup demikian. Tidak ada pilihan lain lagi, hidup mesti dijalankan. Inilah prinsip hidupnya.

Sejak pernikahan tahun 1971, Ia mendampingi suaminya dalam tugas yang sulit. Bapa adalah seorang guru Sekolah Dasar. Sejak penempatan pertama selalu mendapat tugas di tempat yang sulit terjangkau oleh kendaraan. Beberapa kali pindah tugas di pedalaman. Perjalanan kaki membutuhkan satu hingga dua hari. Terpaksa menginap di tengah perjalanan, di tengah hutan, namun demi tugas tidak pernah mengeluh. Gaji yang kecil, perjalananan jauh dari kota tidak menyurutkan semangatnya untuk terus disamping pilihan hatinya. Ia tahu bahwa pilihan hidup itu adalah sebuah komitmen untuk menjalaninya.

Tinggal di rumah guru, beratapkan daun kelapa, berdindingkan bambu dan berlantaikan lumpur. Susahnya mendapatkan air bersih, selalu menjadi kisah yang terus dikenang. Walaupun demikian Ibu tetap setia merawat tujuh anaknya dengan cinta. Ia mencintai anak-anak dengan sehabis-habisnya tanpa batas. Ia bangun pagi-pagi seolah berlomba dengan matahari dan dan berharap agar anaknya bersinar seperti rembulan di malam hari. Ia merawat sejak dini sehingga kelak di usia tuanya, ada sinar rembulan dari anak untuk meneranginya. Dia tidak pernah mengenal ilmu tetapi saat itu dia membagi ilmu. Dia tidak tahu teori, namun ia mempraktekkannya. Ia tidak banyak bicara, namun ia banyak berbuat dan mengajar.

Sejak kecil, tidak pernah sadar kapan ibuku bangun pagi dan mulai sibuk dengan pekerjaan rumah tangganya. Ia berjuang memasak dan menyediakan yang enak walaupun menjadi orang terakhir yang menikmatinya. Selalu makan dari sisah suapan anak-anaknya. Terkadang ia bekerja sambil menggendong anaknya, memberi ASI, mencuci, menyapu dan mengerjakan pekerjaan lainnya. Tengah malam entah jam berapapun tidak tau dia bangun memperhatikan, dan menyakinkan semuanya dalam keadaan yang nyaman. Tidak ada yang terpikirkan supaya anak-anak memperlakukannya demikian di masa tuanya. Ia hanya ingin hidup yang terhimpit itu jangan sampai mati oleh karakter anaknya. Ia ingin anak menghargai hidup sekalipun itu sulit.

Usia senja tiba. Rembulan pun bersinar walau redup dan tersamar. Benih itu tumbuh dan berbuah. Pergulatan mengurus anaknya selesai. Sejak kepergian kekasihnya pada 2 Februari 2003, semangatnya melemah. Banyak waktu untuk dirinya sendiri, anak-anak meninggalkannya untuk hidup mereka. Seolah harus kembali pada masa lalunya. Bertumbuh pada himpitan batu cadas dengan sifat dan karakter buah yang berbeda. Banyak orang melihatnya kurang menarik namun Ia harus memanen hasil saat ini. Tersenyum saat menikmati yang manis dan lezat. Diam saat menikmati buah tanpa rasa. Air mata mengalir saat dianggap terlalu tua dan mencampuri urusan anaknya. Berjuang melawan rasa sakitnya, merasa kesendirian adalah bagian hidup yang tidak terhindarkan lagi. Ia terhimpit di masa tua namun tidak menjadikannya mati dalam teladan dan nasihat hidup.

Aku sering mengajaknya bercerita bagai sahabat dan teman dekat. Kadang ia menangis sambil bercerita tentang derita sakitnya. Kami tertawa mengenang romantisme saat tinggal bersama. Ia menasehati bahkan menegurku bila mendengar dan tahu salahku. Bercanda itu adalah hiburan baginya di masa tua. Cukup saja membuatnya tersenyum dan tertawa itulah yang dia inginkan. Mengambil air minumnya, menyiapkan makanan, mencuci pakaiannya yang kotor, bahkan membersihkan tubuhnya bukan pekerjaan yang menjijikkan. Semua itu pernah dilakukanya tanpa rasa jijik karena cinta jauh lebih kuat. Ia tidak meminta uang atau harta sebagai balasan dari pengorbanannya.

Hal yang luar biasa, Ia bisa mengurus tujuh anaknya tanpa pembantu…..tetapi belum tentu kami tujuh anak bisa mengurusnya yang cuma seorang. Ia hanya butuh waktu untuk menyapanya sekedar bertanya kabar dan mengingatkan kesehatannya. Ia membutuhkan perhatian walau jarak yang jauh. Semuanya mudah dan gratis.

Ibu adalah pahlawanku, walau ia tidak memiliki musuh ataupun dimusuhi. Ia tidak mengangkat senjata untuk berperang, tetapi dia bertarung dan membela kehidupanku sejak aku dalam rahimnya. Aku tak ingin mengucapkan “selamat tinggal” kepada ibuku setiap aku pergi meninggalkannya dalam waktu yang lama. Hal yang paling indah adalah membisikkan ke telinganya “sampai bertemu kembali”. Inilah keindahan hidupku saat rindu untuk kembali dan berjumpa dengan ibuku. Ia adalah benih yang tidak diperhitungkan namun tumbuh. Ia kerdil namun tidak pernah mati hingga saat ini. 

Selamat ulang tahun ketujuh puluh, perempuan hebatku. 

Sudut rindu 

Kamis, 08-04-2021


Ibu adalah pahlawanku, walau ia tidak memiliki musuh ataupun dimusuhi. Ia tidak mengangkat senjata untuk berperang, tetapi dia bertarung dan membela kehidupanku sejak aku dalam rahimnya.

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.