1 min dibaca
26 Mar
26Mar

Suara Keheningan | Yancen Wullo


Hari ini dan kemarin, saya asyik membaca beberapa refleksi menarik dari beberapa pemuda. Beberapa kali mengulanginya dan berupaya masuk dalam pemahaman tentang arti dan maksud refleksi itu. Kesannya; amat sederhana, apa adanya, namun penuh harapan. Menulis dari apa yang dialami, melihat apa yang terjadi dan memiliki harapan bahwa hidup itu berkembang. Semuanya optimis untuk melihat kembali, menata dan berharap agar berbuah. Proses menjadi titik fokus. Ada keyakinan bahwa proses akhirnya yang akan membuat mereka matang secara spiritual.
Bagi kebanyakan orang proses adalah sesuatu yang membosankan, membuang waktu dan tenaga.Namun tidak bagi mereka yang mencintai proses sebagai bagian dari keindahan hidup mencapai kematangan.Kematangan hidup adalah tema yang menarik. Mungkin sudah sekian banyak orang pernah menulis tentang itu, namun sedikit saja yang merefleksikannya. Saya ingin berbagi buah refleksi Pastor Ipong O.Carm dalam rekoleksi virtual bagi para Karmelit Komisariat Sumatera utara, pada 22 Februari 2021.

 
Matang dalam hidup. Matang pohon alami atau matang dikarbit karena profit?Jika kita melihat pada kopi, pisang dan jambu yang masak secara alami.  Pada kopi dan pisang, buah-buah yang muncul lebih dahulu tidak serta merta matang merona pertama. Tetapi tampaknya kematangan bisa juga didahului pada buah-buah yang berikutnya. Bahkan satu tangkai tidak semua bisa matang pada waktu yang sama. Begitupun pada buah jambu yang sama-sama bergantung. Di sinilah kita boleh berbicara, bahwa tidak boleh menuntut biasanya. Karena kita semua unik dan istimewa.  Semua menjadi matang seiring perjalanan waktu  Hal yang sama terjadi pada kematangan hidup rohani kita. Menyangkut iman seirama dengan perbuatan.  Jangan bandingkan prosesmu dengan proses orang lain.Karena setiap orang memiliki prosesnya masing-masingDan dimatangkan dengan bentuk dan cara berbeda-beda.


Jika rezeki itu diukur dari kerja keras, maka kuli bangunanlah yang akan cepat kaya.Jika kekayaan/ kematangan rohani diukur dari kerja keras, maka para kuli/bapa pembangunan yang akan cepat matang
Jika rezeki itu ditentukan dari waktu kerja, maka warung kopi 24 jam lah yang akan lebih mendapatkanya, bahkan mungkin mampu mengalahkan Starbuck, KFC dan McdonaldJika kekayaan/ kematangan rohani diukur dari waktu, maka para biarawan/wati kontemplatif atau rahib/ rubiah yang akan cepat matang
Jika rejeki itu milik orang pintar, maka dosen dan guru yang bergelar panjang yang akan lebih kaya.Jika rezeki itu oleh diperoleh melalui jabatan, maka presiden dan raja-raja itulah orang yang akan menduduki 100 orang  paling kaya di dunia.Jika kekayaan/ kematangan rohani  diukur dari waktu, maka para biarawan/wati, uskup dan   Bapa Paus  yang akan cepat matang.


Sejarah membuktian: kerja keras, banyaknya waktu, kepintaran dan jabatan tidak dapat menjadi ukuran kematangan rohani seseorang. Kita semua membutuhkan bimbingan dan Rahmat Tuhan yang sepadan.
Perhatikan hitungan ini, jika 10 sebagai hitungan sempurna.

1 + 9 = 10

7 + 3 = 10

5 + 5 = 10

Walau hitungan tersebut berbeda cara, tapi hasilnya tetap sama adil, bernilai 10. Sempurna.Artinya…., untuk mencapai hasil nilai yang sama, tidak harus menggunakan cara yang sama.


Saya secara pribadi merasa seperti buah kopi tua yang masih hijau, belum merah matang dibanding dengan orang lain lain. Sebuah refleksi mendalam. Atau bisa jadi seorang guru seperti pisang buah pertama yang belum tentu matang dari para muridnya. Dari semuanya itu ada sebuah pengharapan besar bahwa pada akhirnya menjadi matang bersama pada musim petik.


Kerja keras, banyaknya waktu, kepintaran dan jabatan tidak dapat menjadi ukuran kematangan rohani seseorang. Kita semua membutuhkan bimbingan dan Rahmat Tuhan yang sepadan

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.