Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Sejak sosial media melanda dunia, orang terkena demam baru. Facebook yang diikuti media lain seakan menjebak orang dalam "mindset of like and dislike" alias suka dan tidak suka.
"Like" dan "dislike" itu respon wajar terhadap tampilan di muka umum. Ada murid yang suka atau tidak suka terhadap gurunya. Itu sejak dulu; sebelum ada sosial media. Pemimpin bisa disukai, bisa juga dihindari; bahkan dibenci. "You cannot please everybody."
Menempatkan diri sebagai objek dari suka dan tidak suka itu sedemikian sehingga menganggap bahwa dirinya tergantung pada penilaian itu sungguh mengkhawatirkan. Bahkan, bisa jadi penyakit. Mengapa?
Pertama, orang menganggap pribadinya begitu dangkal. Hanya sebatas produk sosial media. Kedua, orang lupa bahwa hakikat dirinya lebih dalam dan jauh lebih bernilai dari pada yang dilihat dan dikatakan orang.
Ketiga, orang dilahirkan untuk melaksanakan misi mulia yang Tuhan percayakan. Bukan untuk sekadar disukai orang. Ada kalanya, justru karena konsisten pada misi itu orang amat tidak disukai. Peduli amat!
Akhirnya, manusia itu mulai ada jauh sebelum sosial media muncul. Mereka akan tetap ada saat jaman sosial media lewat. Jelas, bahwa nilai dan hidup manusia tak bergantung pada penilaian sesama di dalam sosial media.
Namanya saja "like" dan "dislike"" kan? Tentu subjektif. "Orang sedih tidak suka melihat orang lain yang sedang bahagia... orang yang malas tidak suka terhadap orang sibuk dan rajin," kata Horatius, filsuf Yunani.
Ikut tren "suka" dan "tidak suka" sih boleh saja. Asal jangan sampai tidak bisa tidur ketika ada yang tidak suka (dislike). Hidup hanya sekali. Dibikin suka aja; asal jangan suka-suka.
SOHK, Kamis 2 Juni 2022RP Albertus Magnus Herwanta, O. Carm. Renalam ke-57