Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Tuhan Allah itu mahabesar. Bila Dia bersabda, tentu saja suaranya juga mahabesar. Sangat keras. Menggelegar. Telinga siapa dapat mendengarkannya?
Namun Tuhan bisa pula menyapa manusia lewat suara sangat lembut. Nyaris tak terdengar. Suara panggilan-Nya bisa dilacak dalam peristiwa sehari-hari. Tanpa suara. Misalnya, dalam pribadi yang tampil dalam bacaan hari ini.
Pertama, nabi Yunus dipanggil Tuhan supaya pergi ke kota Ninive, untuk mengingatkan penduduknya agar bertobat dari kejahatannya (Yun 1: 1-2: 1-2). Namun dia lari dari panggilan itu, hingga dilemparkan ke laut dan dimakan ikan. Tiga hari kemudian ikan itu memuntahkannya di pantai (Yun 2: 11).
Kedua, seorang korban perampokan yang terkapar di pinggir jalan dalam keadaan terluka parah. Lalu, ada tiga orang yang lewat di situ. Dua yang pertama, seorang imam dan orang Levi, melewatinya tanpa peduli. Yang ketiga dengan "compassion" menolong dan merawatnya. Membawa ke penginapan dan membayar biayanya.
Tokoh-tokoh di atas menampilkan cara Tuhan memanggil. Pertama, Tuhan memanggil tatkala ada orang-orang jahat yang perlu diajak bertobat. Kedua, melalui manusia yang menjadi korban.
Ada yang menanggapi suara itu secara positif seperti orang Samaria itu. Ada pula yang acuh tak acuh seperti imam dan orang Levi atau malah lari seperti Yunus. Tidak mau mendengarkan suara panggilan Tuhan.
Santo Fransiskus dari Assisi yang diperingati hari ini menanggapi panggilan Tuhan. Dipanggil untuk memperbaiki Gereja yang waktu itu bobrok karena pelbagai penyalahgunaan. Gerakan pembaruannya dalam dan bagi Gereja masih dirasakan buah-buahnya hingga kini.
Apakah aku mendengar suara Tuhan yang memanggil lewat kejadian di sekitarku? Apakah aku menanggapi suara panggilan-Nya? Ataukah acuh tak acuh; bahkan lari menjauh?
Senin, 4 Oktober 2021 | PW Santo Fransiskus dari Assisi | RP Albertus Herwanta, O. Carm.