1 min dibaca
10 Apr
10Apr
Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm

Mengabdi secara tulus memerlukan sikap rendah hati. Bersedia dihina dan dicaci maki. Bahkan tiada henti menghadapi gelombang demonstrasi.

Berada di posisi bawah menuntut mental yang tabah. Siap menanggung susah.
Untuk sampai ke taraf mengabdi secara rela dan bebas dari kepentingan pribadi orang mesti mengosongkan diri. Hanya sedikit yang dengan lapang dada memenuhi syarat ini.

Hamba Allah tidak hanya mempertajam pendengarannya dan mempergunakan mulut untuk membangkitkan semangat, tetapi juga membiarkan dirinya dihina dan direndahkan (Yes 50: 4-6). Meski demikian, dia tidak takut karena Allah menolongnya dan dia tidak akan mendapat noda (Yes 50: 7).

Demikianlah dengan Sang Guru Kehidupan yang walau dalam rupa Allah meninggalkan kesetaraan itu; mengosongkan diri dan menjadi manusia (Fil 2: 5-7). Karena telah merendahkan diri hingga mati, Dia diangkat ke tempat yang paling tinggi (Fil 2: 8-10). Inilah sikap merendahkan diri yang belum tertandingi.

Kitab nabi Yesaya dan surat kepada jemaat di Filipi mengingatkan orang akan serah diri seorang abdi. Penuh inspirasi.

Dimulai dari penyerahan diri secara simbolis dalam perjamuan malam terakhir. Dia memberikan diri, sabda-Nya, "Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku." (Luk 22: 19).

Pada korban di kayu salib seluruh penyerahan diri-Nya terpenuhi. Lewat serah diri sang abdi seluruh umat manusia memperoleh hidupnya kembali.

"We come nearest to the great when we are great in humility," kata Rabindranath Tagore*)
Minggu Palma, 10 April 2022RP Albertus Magnus Herwanta, O. Carm.

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.