1 min dibaca
12 Sep
12Sep

Suara Keheningan I RP. Albertus Herwanta, O.Carm

Mbah Paulus Cokrosoempeno kurang lebih sembilan puluh tahun usianya. Waktu Indonesia merdeka dia berusia empat belas tahun. Ingatan, pikiran, dan telinganya masih tajam.

Petang itu, ia duduk santai di teras rumah sambil mendengarkan berita terkini. Radio tuanya memberitakan tentang presiden negerinya yang fenomenal.
Tatkala sebagian orang heboh memujinya dan yang lain memakinya, Mbah Cokro ingat kembali suatu peristiwa di masa lampau.

Kurang lebih enam puluh tahun lalu tetangganya melahirkan seorang anak lelaki. “Saking” miskinnya keluarga itu, mereka tidak mampu membeli rumah. Jangankan rumah, makan-minum sehari-hari saja tidak pernah tercukupi.
Sebagian tetangganya memandang sebelah mata. Pemerintah otoriter lewat pamong projo juga membuatnya menderita. Berkali-kali rumahnya yang di pinggir kali digusur. Begitulah, sebagian aparat bertindak minim martabat. Rakyat kecil dianggap lumpur.

Karena berasal dari rakyat jelata, simpang siurlah catatan kelahirannya. Orang pun menulis biografinya dalam versi sesukanya. Sesuai kepentingan. Termasuk memfitnah dia dan kedua orangtuanya.

Apa pun yang dibilang orang, tidak membuatnya berang. Dia tetap tenang. Menjalankan misi yang telah diamanahkan Sang Mahakuasa kepadanya. Meski mesti dijalani dengan penuh derita, hidupnya telah digariskan untuk membawa kesejahteraan bagi rakyat yang kini dipimpinnya.

Yang jelas, kedua orangtuanya ikut terangkat martabatnya. Anak berbudi mengangkat derajat orangtua dan para leluhur.

Tetiba Mbak Cokro dikejutkan suara isterinya yang mengajaknya makan malam. Mereka pun menikmati santap malam sederhana. Nasi hangat, tempe goreng dan gudeg bersantan. Minumanya teh hangat.
Kurang lebih dua ribu tahun yang lalu kisah yang kurang lebih serupa pernah terjadi. Tokohnya bukan lelaki, tetapi wanita desa yang beriman dan rendah hati. Namanya Maria.
Para tetangganya tidak percaya bahwa lewat wanita sederhana itu Tuhan Allah berkenan menghadirkan keselamatan bagi umat manusia. Bagaimana mungkin Allah tinggal dalam rahim manusia dan menjadikannya alat keselamatan-Nya?
Setiap kali anaknya yang sudah dewasa pulang kampung, para tetangga menolaknya. Tidak percaya. Bahkan mengusirnya.

Hingga kini banyak orang tidak percaya akan peranannya. Memang, catatan tentang kelahiran wanita itu tak pernah ditemukan. Ketika kelahirannya diperingati pun bukan kisah kelahirannya yang dibaca. Seakan-akan dia bukan siapa-siapa.
Ia memang telah menempatkan diri sebagai hamba. “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataan-Mu!”
Sesungguhnya, ia orang besar yang melahirkan utusan Tuhan; penyelamat umat manusia.

Para nabi telah mewartakannya. Ia jauh lebih besar daripada presidennya Mbah Cokrosoempeno yang kahadirannya banyak dihubungkan dengan ramalan Jayabaya.
Rabu, 8 September 2021Pesta Kelahiran 

Santa Perawan Maria, Bunda Yesus I RP Albertus Herwanta, O.Carm.

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.