1 min dibaca
04 Apr
04Apr
Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm

Luka batin akibat pembatalan piala dunia U-20 di Indonesia belum kering. Protes dan kritikan masih terdengar keras; melengking. Mereka yang kehilangan uang triliunan rupiah pun sedang pusing tujuh keliling.

Banyak orang menulis atau menyebar opini. Sementara itu, yang gagal menyampaikan ekspresi berdasar akal budi hanya "mencak-mencak" pertanda emosi. Itu masih lebih baik daripada mereka yang hanya memaki-maki.

Sebagian orang membuat analisa tentang ini salah siapa. Yang lain mencari kambing hitam alias penyebab keputusan yang membuat banyak warga negara Indonesia kecewa.

Apakah benar bahwa itu dibatalkan gara-gara beberapa pejabat tidak pada tempatnya berkomentar? Benarkah penolakan dari beberapa partai membuat "international event" di Indonesia itu tercerai berai?

Mungkin saja kata-kata Ganjar Pranowo dan I Wayan Koster dinilai "keblinger" atau tidak cerdas alias kurang pinter. Di tengah polemik yang bak tanpa ujung, orang diajak berpikir jernih dan merenung.

Apa hubungan antara sepak bola dan harga diri bangsa Indonesia? Apakah orang-orang Indonesia sudah menjadi bangsa sepak bola?

Bangsa sepak bola berarti bangsa yang bukan hanya menyukai sepak bola, tetapi membuat sepak bola bagian dari budayanya. Budaya mulia. Sepak bola bukan hanya tontonan penghibur yang menyenangkan, tetapi bagian dari ekspresi diri.

Mereka menampilkan sepak bola sebagai permainan, bukan mainan. Sudahkah sepak bola menjadi budaya olah raga bagi bangsa? Jangan-jangan permainan itu masih menjadi mainan para bandar yang mencari laba lewat pertandingan sepak bola. Jika itu faktanya, apakah Indonesia sudah siap jadi tuan rumah sepak bola tingkat dunia?

*) Maaf untuk mereka yang bukan peminat sepak bola.
Salam dan Tuhan memberkati.
SOHK, Selasa 4 April 2023AlherwantaRenalam 094/23

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.