1 min dibaca
14 Aug
14Aug

Suara Keheningan I RP. Albertus Herwanta, O.Carm

Orang yang sungguh beragama biasanya berdoa. Doa mengungkapkan pengakuan atas realitas atau kekuatan yang lebih daripada dirinya. Dalam doanya sebagian manusia beragama memuji atau meluhurkan "Sang Supranatural." Ada pula yang mengucap syukur kepada-Nya. Sebagian besar yang lainnya memohon. Maka, ada doa syukur, doa tobat, doa pujian dan doa permohonan.

Disadari atau tidak, doa didominasi oleh permohonan. Manusia kerap menemukan dirinya kosong, entah secara jasmani entah rohani. Ada kebutuhan yang belum terpenuhi dan tidak mungkin dijawab dengan kekuatan sendiri.

Tidak jarang orang datang beribadah dalam rangka mengisi kekosongan itu. Mereka yang hatinya hampa atau hidupnya terasa tanpa makna mengikuti kebaktian yang bisa menjawab kebutuhan emosional mereka. Semakin ibadah itu bisa memuaskan emosi mereka, semakin laku kebaktian itu.

Memenuhi kebutuhan emosional lewat ibadah bukanlah sesuatu yang buruk. Bukankah manusia itu makhluk berdimensi emosi? Praktik itu mengundang masalah tatkala dijadikan satu-satunya atau alasan utama ibadahnya. Mereka beribadah bukan untuk memuliakan "Sang Supranatural" tetapi untuk menutup kekosongan dirinya. Fokus dan tujuan doanya adalah diri sendiri.

Untuk periode waktu yang pendek praktik itu memuaskan. Namun tidak untuk jangka panjang. Manusia merindukan yang jauh lebih dalam dan luas daripada yang emosional. Manusia itu rindu akan yang utuh dan menyeluruh (rohani-jasmani, spiritual-material, kini dan yang abadi).

Bangsa Israel pernah mengalaminya. Tatkala mereka merasa bahwa Tuhan Allah tidak menjawab kerinduan mereka, berpalinglah mereka kepada allah-allah lain. Karena itu, sebelum Yosua yang memimpin mereka masuk ke Tanah Terjanji mati, dia menantang bangsa itu. Mau mengabdi kepada Allah atau kepada allah-allah dari bangsa lain. Mereka pun menjawab bahwa akan setia mengabdi kepada Allah (Yos 24: 16.21).
Dengan demikian mereka menyembah Allah bukan karena ingin minta ini dan itu, tetapi karena sudah mengalami betapa baiknya Allah (Yos 24: 17-18). Mereka beribadah bukan karena sedang dilanda masalah, tetapi karena telah merasakan betapa Allah telah melimpahkan berkah.

Doa dan ibadah demikian dilakukan bukan untuk mengisi kekosongan, tetapi untuk mengalami kepenuhan. Untuk menyadari bahwa dalam segala situasi Allah menyertai. Walhasil, doanya tidak terasa mengecewakan. Sebaliknya, selalu menjadi alasan untuk hidup dengan penuh harapan.

Sabtu, 14 Agustus 2021RP Albertus Herwanta, O. Carm.

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.