Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Perumpamaan tentang seorang penabur (Mrk 4: 1-20) menyebut tanah. Minimal ada tiga jenis tanah, yakni tanah di pinggir jalan (Mrk 4: 4), tanah yang berbatu-batu (Mrk 4: 5), dan tanah yang baik (Mrk 4: 8).
Tanah itu mempunyai sifat menerima ("receptive"). Selain itu, tanah juga punya "kemampuan" dan "kemauan" mengolah yang diterimanya. Sampah organik seperti daun dan kotoran hewan, misalnya, bisa diolahnya menjadi kompos dan pupuk yang menyuburkan dan membawa kesejahteraan.
Manusia disebut "human" atau "human beings." "Human" dari kata "humus" (bhs Latin) yang berarti tanah. Manusia itu memang dari tanah dan kembali menjadi tanah. Karena itu, seharusnya manusia itu punya sifat "receptive" dan bersedia mengolah yang diterimanya.
Tanah, tempat benih Kerajaan Allah ditaburkan menggambarkan diri manusia. Dia dituntut terbuka dan siap menerimanya serta mengolah sehingga benih menjadi pohon yang menghasilkan buah. Untuk itu tanah mesti lentur dan lembut.
Sering terjadi bahwa tanah itu mengeras dan berbatu-batu sehingga sulit menerima. Sikap sombong, intoleran dan kelemahan lainnya membuat manusia yang keras, kaku dan tertutup sehingga benih Kerajaan Allah itu tidak tumbuh, apalagi berbuah.
Tanah demikian perlu digemburkan dengan air kasih Tuhan dan disuburkan dengan rahmat Tuhan. Namun kasih dan rahmat itu kadang harus menembus dan merasuk ke dalam tanah yang keras secara perlahan dan dalam waktu lama.
Syukurlah, Tuhan itu panjang sabar dan selalu punya waktu untuk menunggu. Dia menanti umat manusia menyadari bahwa diri mereka itu tanah. Tuhan sungguh mengharapkan manusia menyambut Kerajaan Allah dalam diri mereka. Menerima seperti tanah.
Rabu, 26 Januari 2022Peringatan St.Timotius dan Titus, uskup RP Albertus Magnus Herwanta, O. Carm.