Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Manusia itu makhluk berakal budi; bisa berpikir. Bahkan bisa pula menyimpan pengalaman dalam pikiran. Itulah yang membuat manusia berbeda dan lebih sempurna daripada makhluk ciptaan lainnya. Namun di situ pula kelemahannya.
Letak kelemahannya ada pada lupa. Mungkin hanya manusia yang bisa lupa. Kalah dari gajah yang bisa mengingat kejadian yang sudah bertahun-tahun lamanya. Nggak percaya? Jahatilah si gajah, puluhan tahun kemudian bila bertemu, dia akan membalasnya.
Tuhan Allah berpesan ("mewanti-wanti") agar setelah masuk ke Tanah Terjanji bangsa Israel tidak lupa akan karya-Nya. Terlebih waktu mereka sudah menikmati segala yang disediakan negeri yang berlimpah susu dan madunya itu (Ul 6: 3). Mereka mesti ingat bahwa hanya ada satu TUHAN Allah yang esa (Ul 6: 4). Bahwa tidak ada Allah selain TUHAN. Mengasihi Dia di atas segalanya, dengan seluruh diri, itu konsekuensi (Ul 6: 5).
Lebih dari itu, mereka mesti mengajarkan hal itu kepada anak cucu mereka turun-temurun (Ul 6: 7). Inilah pesan Tuhan melalui Musa kepada mereka, "Maka berhati-hatilah, supaya jangan engkau melupakan TUHAN, yang telah membawa kamu keluar dari tanah Mesir, dari rumah perbudakan. Engkau harus takut akan TUHAN, Allahmu; kepada Dia haruslah engkau beribadah dan demi nama-Nya haruslah engkau bersumpah. Janganlah kamu mengikuti allah lain, dari antara allah bangsa-bangsa sekelilingmu" (Ul 6: 12-14).
Hingga kini Firman itu masih dibacakan. Mengapa? Karena manusia suka lupa. Terutama melupakan kebaikan Tuhan. Pada saat susah dan menderita mereka datang kepada Tuhan. Namun pada saat makmur dan sejahtera banyak manusia melupakan Tuhannya.
Apakah itu penyebab merosotnya iman dan agama di negara-negara maju? Bukankah ketika manusia sudah makmur, aman dan nyaman mereka lupa akan Tuhan? Sebaliknya, di daerah-daerah miskin yang penduduknya masih menderita, rupanya jauh lebih mudah mengajarkan tentang iman kepada Allah.
Jawabannya bisa beragam. Namun pesannya jelas. Jangan sampai orang hanya ingat akan Tuhan pada waktu kesusahan; melupakan Dia saat menikmati kemakmuran. Dalam hal ini, mereka mesti melawan lupa.
Sabtu, 7 Agustus 2021RP Albertus Herwanta, O. Carm.