1 min dibaca
23 Apr
23Apr
Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm

Setiap zaman memiliki pemberian (anugerah) dan tantangan (masalah) masing-masing. Pada zaman dahulu, hidup manusia dan masyarakatnya tidak praktis. 

Misalnya, gotong-royong membersihkan parit. Pekerjaan kecil itu dikerjakan puluhan orang. Padahal dua orang yang menggunakan alat canggih dapat menyelesaikannya dalam waktu singkat.

Keluarga-keluarga pada zaman dahulu memiliki banyak anak. Prinsipnya: "Banyak anak, banyak rejeki." Konteksnya tentu masyarakat pertanian yang membutuhkan banyak tenaga untuk menggarap sawah.

Kini, pada zaman industri, banyak anak berarti "ngrepoti" alias tidak praktis. Semua mahal harganya. Pendidikan pun demikian. Banyak anak bikin pusing otak. Lagi pula, pemikiran orang zaman sekarang rasional.

Akibatnya, banyak keluarga hanya punya sedikit anak. Kalau bisa, satu cukup. Ini membuahkan problem "sibling" alias saudara kandung. Anak tunggal memang menghemat biaya. Namun, biaya sosial-psikologisnya juga mahal. Anak menjadi manja, suka menuntut, dan tidak pernah belajar berbagi.

Itu masih belum seberapa. Beberapa negara kini mengalami masalah kekurangan penduduk. Sementara penduduk yang tua usianya banyak yang meninggal, keluarga muda menolak mempunyai anak.

Bukankah masyarakat bertahan dari satu generasi ke generasi lewat melahirkan anak-anak, penerus generasi orangtuanya. Tatkala proses itu terhenti, cepat atau lambat masyarakat terancam mati.

Manusia dianugerahi banyak kelebihan sekaligus diberi tugas yang berat. Mereka dituntut mempertahankan eksistensi generasinya. Itu bukan tanggung jawab manasuka. Manusia mesti serius mengambilnya.

Salah satunya dengan membangun keluarga dan melahirkan anak yang lebih dari satu. Bila itu terwujud di masyarakat kita, orang terbebas dari masalah "sibling" dalam keluarga.

SOHK, Minggu 23 April 2023AlherwantaRenalam 113/23

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.