1 min dibaca
06 May
06May
Suara Keheningan | RP. ALbertus Herwanta, O.Carm

Waktu aku di Sekolah Dasar, Gunung Kidul terkenal sebagai daerah penghasil "gaplèk" yang jadi bahan baku "thiwul." Sendangsono menghasilkan "geblèg" yang amat nikmat.

Orang yang mengunjungi kota Magelang membawa oleh-oleh khas. "Gethuk Trio" namanya. Sedang mereka yang lewat daerah Bondowoso dan Jember biasanya tidak lupa membeli tapé, suwar-suwir, atau proltapé.

Semua jenis makanan di atas dibuat dari bahan yang sama, yakni singkong. Proses berbeda atas bahan yang sama bisa menghasilkan produk akhir yang bervariasi wujud dan rasanya. Betapa pentingnya suatu proses!

Manusia bisa digambarkan sebagai singkong. Hakikatnya sama. Namun, ketika dididik secara berbeda, mereka akan menjadi pribadi yang amat berlainan. Yang satu bisa menjadi orang yang terbuka, ramah, manusiawi, sopan, dan toleran. Yang lain bisa tertutup, sinis, kejam, dan intoleran.

Proses pendidikan itu terjadi minimal dalam tiga wilayah utama, yakni keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial (masyarakat). Betapa pentingnya menanamkan pendidikan humanitas dalam keluarga dan sekolah.

Dua lembaga itu tidak hanya mempersiapkan manusia untuk menjadi sukses dan kaya, melainkan menanamkan dasar-dasar kemanusiaan. Membentuk manusia yang mencintai Tuhan dan sesama.

Lingkungan sosial pun berperan. Budaya antri di bank, kantor layanan publik, dan waktu mau naik kendaraan umum sudah mulai terbentuk. Tampaknya kecil dan sederhana, tetapi budaya antri itu mencerminkan pribadi manusia punya empati, simpati, dan apresiasi terhadap hak orang lain.

Apakah dalam keluargaku ada budaya antri? Apakah anggota keluarga dilatih menghargai anggota lainnya? Apakah perbedaan diterima sebagai yang mulia? Pendidikan macam apa berlangsung di sana: terbuka dan toleran atau sebaliknya?

SOHK, Kamis 5 Mei 2022RP Albertus Magnus Herwanta, O. Carm. Renalam ke-29

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.