1 min dibaca
14 Aug
14Aug

Suara Keheningan I RP. Albertus Herwanta, O.Carm

Tahun ini Indonesia merayakan tujuh puluh enam (76) tahun usia kemerdekaannya. Dirgahayu Indonesia!
Usia itu dicapai melalui usaha dan perjuangan keras dari banyak pihak, baik rakyat maupun pemerintah. Banyak tantangan dan kesulitan dihadapi, mulai dari pemberontakan bersenjata di daerah-daerah (separatisme), upaya mengganti ideologi hingga tekanan kepentingan luar negeri. Kelompok ekstrem kiri (ideologi) dan ekstrem kanan (agama) juga terlibat di dalamnya.

Semua upaya itu gagal. Mengapa? Karena bangsa dan rakyat Indonesia selalu ingat dan berpegang pada maksud semula didirikannya negara Indonesia. Pegangannya adalah UUD 1945, Pancasila, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.

Salah satu komponen bangsa yang juga berjasa dalam upaya itu adalah keluarga. Berkat keluarga-keluarga yang kokoh bangsa Indonesia tidak mudah roboh. "Keluarga retak, masyarakat rusak," demikian kata pepatah. (Memang pepatah bisa omong?)

Seperti negara, keluarga juga digoncang dan ditantang. Salah satu tantangan terbesar adalah perceraian. Sejak dahulu hingga kini banyak keluarga yang dibangun atas dasar cinta dan janji sukarela dan sehidup semati berakhir dalam perceraian pasangan suami- isteri.

Ketika berhadapan dengan kaum Farisi yang bertanya kepada-Nya tentang boleh tidaknya suami menceraikan isterinya, Sang Guru Kehidupan bersabda, "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." (Mat 19: 4-6)

Dengan itu Sang Guru menandaskan kembali maksud semula Allah mendirikan lembaga keluarga (perkawinan). Maksud Allah itu tidak boleh dibatalkan oleh manusia. Perkawinan akan tetap ada; apa pun tantangan dan kesulitannya. Bahkan anak-anak dari orangtua yang bercerai pun banyak yang menikah. Seakan mereka berkata dengan lantang bahwa kekuatan kasih mereka jauh lebih kuat daripada "pengalaman negatif" orangtuanya yang bercerai.

Jika ingin meraih sukses dan kebahagiaan, orang perlu berpegang pada maksud semua. Kalau kaum muda yang menikah saja "menyerukan" perlunya mempertahankan pernikahan, betapa lebih dari itu Allah yang pada awal mula menghendakinya. Dia selalu berpegang pada maksud semula.

Jumat, 13 Agustus 2021RP Albertus Herwanta, O. Carm.

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.