1 min dibaca
21 May
21May

Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm

Dalam kehidupan sosial sebagian orang mendapat kepercayaan untuk melayani. Pelayanan itu dijalankan di pelbagai bidang. Misalnya, di bidang sekuler dan keagamaan. Pelayan di bidang sekuler tampak dalam diri pejabat. Mereka itu pelayan publik yang diangkat oleh pemerintah untuk melayani rakyat. Sedangkan para pastor atau pendeta melayani di bidang rohani. Mereka itu gembala yang sekaligus pelayan.

Untuk menjalankan tugas pelayanannya dengan baik mereka membekali diri dengan pelbagai kemampuan seperti ilmu pengetahuan, "skill" atau ketrampilan dan integritas. Adalah sangat baik dan perlu bahwa para pelayan itu memahami benar bidang pelayanannya dan mengemban tugas secara profesional.

Namun profesionalitas saja tidak cukup. Yang juga sangat diperlukan adalah hati dan jiwa yang menyemangati kinerjanya. Seorang guru, misalnya, dituntut menguasai ilmu yang diajarkannya dan metode pengajarannya sekaligus menjiwai profesinya dengan mencintai semua muridnya tanpa diskriminasi. Guru yang diskriminatif adalah pendidik destruktif!

Ketika menitipkan para pengikut-Nya kepada Petrus untuk digembalakan, Sang Guru Kehidupan tidak bertanya tentang apa gelar akademis dan berapa sertifikat yang dimilikinya. Tiga kali di hadapan murid-murid lain Dia bertanya, “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?” (Yoh 21:15.16.17). Simon Petrus pun menjawab bahwa Dia mencintai Sang Guru.

Wujud kasih dari Petrus dalam melaksanakan tugas penggembalaan itu adalah dengan melepaskan seluruh kebebasannya. Dia harus mengikuti kehendak orang lain, termasuk ke tempat yang dia tidak kehendaki (Yoh 21: 18). Kasih lekat dengan penyangkalan diri demi mereka yang dikasihi.

Firman itu berlaku juga untuk semua orang yang menjanjikan dirinya, entah di bawah sumpah atau tidak untuk melayani orang lain. Kunci dan jiwa terpenting dari pelayanan adalah kasih. Mengasihi orang yang dilayani dan menjiwai pelayanannya dengan kasih.

Tatkala para pejabat publik menghayati ini, tentu tidak ada korupsi; tidak ada birokrat yang pada jam kerja minum kopi atau main remi membiarkan rakyat duduk menanti. Tidak ada gembala dan pelayan jemaat yang berebut kursi.

Karena kehidupan bersama selalu lekat dengan pelayanan, betapa pentingnya membekali mereka yang ingin menjadi pelayan itu kemampuan yang cukup untuk melaksanakan tugas pelayanannya. Di atas itu, ada yang tidak kalah penting, yakni menanamkan kasih. Dengan kasih orang berusaha melayani sebaik mungkin. Sementara dengan kepandaian belaka belum tentu dapat diharapkan pelayanan yang pasti baik. Kasih itu jiwa pelayanan.

Jumat, 21 Mei 2021RP Albertus Herwanta, O. Carm.

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.