1 min dibaca
07 Mar
07Mar
Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm

Setelah memperoleh yang dicari, manusia memerlukan tempat untuk menyimpannya. Keluarga, misalnya, bagaikan wahana untuk hidup perkawinan. Rumah difungsikan untuk menyimpan harta benda. Orang menyimpan uang di bank. Semua itu seperti wadah.

Hidup manusia pun bagaikan wadah. Sifatnya rapuh. Karena kerapuhannya, hidup manusia digambarkan sebagai bejana tanah liat.

Benar, manusia itu berasal dari tanah dan akan kembali menjadi tanah (humus). Kata humus membentuk "humility"(kerendahan hati); bisa dimaknai sebagai "sèkèng"(bhs Jawa). Artinya, rendah dan rapuh.

Manusia pada dasarnya rapuh. Raganya bisa sakit dan akhirnya akan mati; rohaninya tercemar oleh dosa. Bukankah kerapuhan itu harta manusia yang sesungguhnya? Namun, Allah berkenan menggunakan kerapuhan manusia itu sebagai wadah bagi rahmat-Nya.

Karena kerapuhannya, manusia perlu diingatkan untuk berpuasa (mengendalikan diri), berdoa (berelasi dengan Tuhan) dan bersedekah (peduli dan simpati-empati kepada sesama). Ketiganya mengantar orang kembali kepada hakikat pribadi, kepada Tuhan dan sesama.

Hal di atas menegaskan dua hal, yakni "kesèkèngan" manusia dan kekuatan rahmat Allah. Rahmat inilah yang mengubah kerapuhan manusia menjadi kemuliaan.
Orang perlu menerima kerapuhannya dan sekaligus mengimani rahmat ilahi. Yang kedua diwadahi dalam yang pertama.

Hidup manusia sebagai wadah yang rapuh, lemah, dan terbatas memperoleh kemuliaan berkat rahmat Allah. Dalam Allah manusia senantiasa memiliki nilai mulia dan pengharapan berarti. Kelemahan dan kerapuhan bukan alasan untuk berputus asa.

Salam dan Tuhan memberkati.
MLKÇ, Selasa 7 Maret 2023AlherwantaRenalam 066/23

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.