1 min dibaca
07 Feb
07Feb
Suaraa Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm

Melaju dengan kecepatan tinggi kini mudah dinikmati. Jalan tol yang sebagian dibangun pada masa pemerintahan Presiden Jokowi memungkinkan hal itu terjadi.

Kecepatan tinggi itu tidak serta merta membuat manusia menjadi bijaksana dalam berkendara. 

Baca ini: 100 Tahun NU, Benteng NKRI dan Toleransi-Anti Radikalisme Halaman all - Kompasiana.com 

Masih banyak yang melarikan mobilnya melebihi kecepatan yang seharusnya.
Lari amat kencang saja masih kurang, bagaimana berulang kali terhenti di perjalanan bisa dibayangkan. Lalu lintas macet membuat mereka "mumet." Apalagi dalam situasi tergesa-gesa dan mendesak, jantungnya lebih cepat berdetak dan mulut rasanya ingin protes, berteriak.

Sebagian dari kita sudah diperbudak oleh kecepatan ("speed"). Gawai dan komputer mesti beroperasi secara cepat. Berkendara harus cepat; makan dan bekerja pun mesti cepat. Ada yang bilang "fast eater, fast worker" (orang yang makannya cepat, kerjanya juga cepat). Bandingkan dengan pengikut "alon-alon" waton kelakon!"

Bukankah salah satu faktor timbulnya ketegangan antara tenaga kerja asing (TKA) dan tenaga kerja lokal (TKL) di pabrik Smelter Morowali antara lain berawal dari sini? Beda etos kerja: yang satu kerja cepat, yang lain terbiasa lelet alias lambat. 

Baik cepat maupun lambat keduanya diperlukan. Ada kalanya, orang dituntut bergerak cepat. Pertolongan pertama dalam kecelakaan, misalnya, mesti dilakukan secara cepat. Sedangkan pertumbuhan pribadi manusia mesti mengikuti irama alam. Betapa bahayanya pribadi-pribadi hasil karbitan!

Di tengah arus perubahan dan gerak yang serba cepat, orang tetap perlu bijak membedakan kapan mesti cepat dan kapan perlu pelan. John Maxwell menulis, "As you get older, time speeds up but life slows down." (Ketika anda semakin tua, waktu bergerak cepat, tetapi hidup melambat).

Salam dan Tuhan memberkati SASL, Senin 6 Februari 2023AlherwantaRenalam 037/23

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.