3 min dibaca
Rahasia duduk di pinggir jalan

Dulu saya suka duduk di pinggir jalan, apalagi duduk ramai-ramai bersama teman sambil bercerita tema yang menyenangkan. Duduk di pinggir jalan bersama teman-teman sebaya itu merupakan sukacita yang tidak terlupakan. Kami bisa tertawa dan bahkan susah mengakhiri waktu untuk duduk bersama di pinggir jalan. Karena itu, pengalaman yang menjengkelkan adalah ketika sang ibu memanggil pulang supaya bisa membantunya di rumah. Meninggalkan kebersamaan di pinggir jalan itu rasanya berat. Alasannya sederhana yakni karena meninggalkan kebersamaan berarti meninggalkan kesenangan, sukacita dan kegembiraan bersama-sama di pinggir jalan.

Duduk di pinggir jalan: saat belajar mendengar

Duduk di pinggir jalan bersama teman-teman sebaya atau juga bersama orang lain yang kita kenal itu merupakan saat yang indah. Indah karena saya berada dalam kemungkinan yang terbuka, saya bisa bertanya dan berbicara, melihat wajah sesama dan juga orang lain yang sedang lewat di jalan dari pinggir jalan. Itulah kemungkinan yang terbuka saat saya berada di pinggir jalan bersama orang lain. Meskipun demikian, hidup ini ternyata tidak selalu berada bersama orang lain. Saya tidak mungkin bisa bersama dengan teman sebayaku setiap hari di pinggir jalan. Dan karena itu, menjadi terpisah dengan teman-teman itu adalah juga suatu kenyataan yang mesti diterima. Akan tetapi, kenyataan seperti ini tidak terlalu menyedihkan, karena saya memisahkan diri dengan teman-teman karena suatu keputusan yang sadar untuk suatu tujuan. Sebaliknya sangat menyedihkan apabila, saya seorang diri duduk di pinggir jalan. Bayangkan diri kita masing-masing saja sedang duduk di pinggir jalan. Meskipun begitu, masih juga belum terlalu menyedihkan kalau dibandingkan dengan Bartimeus. Mengapa? Ia duduk di pinggir jalan, tetapi juga ia tidak bisa melihat siapa-siapa. Duduk di pinggir jalan sebagai seorang yang buta itu merupakan pengalaman yang sungguh amat menyedihkan. Saya kira kita setuju itu. Meskipun demikian ternyata, manusia itu adalah makhluk misterius, yang selalu memiliki kemampuan lebih dibalik kecacatan yang kasat mata. Bartimeus memang duduk di pinggir jalan. Posisi ini mungkin dilihat sepintas oleh banyak orang sebagai posisi yang tidak terhormat. Bisa saja jadi benar. Akan tetapi, posisi di pinggir jalan itu adalah posisi paling strategis, apalagi bagi Bartimeus, si buta itu. Dari pinggir jalan, ia akan bisa mendengar cerita orang-orang yang sedang berjalan.

Di pinggir jalan adalah posisi yang paling nyaman bagi seorang buta. Ia tidak mungkin ditabrak oleh orang banyak yang lewat di jalan. Inilah kehebatan orang yang dipinggir jalan. Ia memiliki posisi tertentu. Ia memiliki keputusan yang sadar, di mana dia mesti duduk atau berdiri. Wilayah seperti itu saya namakan wilayah Peripherié. Kata ini berasal dari (dari Yunani kuno περιφέρω, periphéro " = zone "an der Peripherie der Stadt" zona di luar kota. Zona Peripherié bagi Bartimeus adalah wilayah kontemplasi. Wilayah Peripherié adalah bagi orang yang secara sosial dipinggirkan tetapi bisa mendengar satu suara dari antara banyak suara. Wilayah di mana dirinya berada terpisah dari orang lain.

 Kontemplasi ala Bartimeus

Bahkan secara global, berada di wilayah Peripherié bisa berarti bahwa orang tidak sanggup melihat apa-apa. Orang mungkin tidak sanggup melihat pesannya kemajuan teknologi, dll. Akan tetapi, Bartimeus justru berada di Peripherié dengan aksen keunggulan tertentu yakni sekalipun di Peripherié, tetapi dia bisa menemukan posisi yang strategis, bahkan bisa memposisikan dirinya. Inilah keunggulannya, Peripherié di sini, tidak hanya sebagai zona terluar, tetapi juga sebuah geometri, sebuah garis batas dari sosok yang melengkung, besonders des Kreises, terutama suatu lingkaran. Posisi Bartimeus yang duduk di pinggir jalan itu bisa berubah dari geometri ke geo kontemplasi. Artinya, batas posisinya di pinggir jalan itu bisa membentuk alam spiritual Bartimeus untuk mengenal keheningan. Keheningan yang lahir dari kerinduaan untuk bisa mendengar suara Yesus. Karena itu, kisah tentang seorang diri yang buta lalu duduk di pinggir jalan itu, bukanlah kisah konyol tetapi kisah yang berbobot dan menggugat secara sosial maupun spiritual. Pertama, secara sosial konsep tentang orang yang duduk di pinggir jalan adalah bahasa simbol bagi para pengangguran. Kenyataan dunia bisa membuktikan demikian, akan tetapi sekarang ini tidak hanya itu, ada suatu asosiasi yang lain tentang orang yang duduk di pinggir jalan, yakni orang yang sedang duduk berjaga untuk mempertahankan hak ulayat mereka. Mereka bukanlah orang yang tidak memiliki rumah, tetapi orang-orang yang memiliki keputusan sendiri keluar dari rumah mereka untuk duduk di pinggir jalan. Bagi mereka berada di wilayah Peripherié itu merupakan pilihan untuk masa depan anak cucu mereka. Peripherié menjadi sebuah locus sosial baru bukan sebagai penganggur tetapi sebagai suatu Flucht, pengungsian karena tekanan sosial tertentu. Suatu Flucht, pengungsian karena tekanan sosial tentu bukanlah locus ideal. Tetapi bisa menjadi locus Teologi. Karena itu situasi Flucht, mesti mendapatkan tanggapan yang serius dari orang banyak yang berbondong-bondong mengikuti Yesus. Mengapa? Mereka yang di pinggir jalan sebagai Flucht adalah juga saudara dan saudari kita. Mereka memiliki hak yang sama, termasuk hak mendapatkan perlindungan dan keamanan. Mereka adalah orang-orang yang memiliki martabat sosial yang sama dengan orang lain. Kedua, secara spiritual. Konsep tentang orang yang duduk di pinggir jalan adalah orang-orang yang telah berada dalam radius yang diperhatikan Yesus. Dari radius pinggir jalan itulah Bartimeus menghentikan langkah Yesus. 

Radius Peripherié 

Radius Peripherié adalah radius potensial bagi pemenuhan janji keselamatan. Potensi keselamatan di radius Peripherié mengandalkan energi spiritual yakni keheningan tingkat dewa. Sekalipun di pinggir jalan, ia mampu mendengar suara seseorang yang dinantikan dunia. Bagaimana mungkin ia bisa membedakan suara seseorang dari sekian banyak orang yang berbondong-bondong itu. Itulah kekuatan spiritual yang dianugerahkan kepada orang yang duduk di pinggir jalan. Peripherié adalah locus kontemplatif. Dari keterpinggiran secara sosial, ia malah dianugerahi kemampuan untuk mendengar suara Yesus di tengah keramaian orang-orang yang berbondong-bondong. Peripherié tentu tidak mungkin dipisahkan dari keheningan. Keheningan di Peripherié ini tidak berarti menjadi bisu, tetapi sebaliknya sebuah keheningan yang aktif. Bahkan sebuah keheningan yang terlibat bersama orang-orang lain yang sedang berbondong-bondong mengikuti Yesus. Bartimeus tidak lagi peduli apakah hak suaranya masih ada atau tidak karena posisinya di pinggir jalan dan kondisi fisiknya sebagai seorang yang buta. Pada titik inilah, Bartimeus menunjukkan model keterlibatan kaum pinggiran. Ia berseru dan terus berseru memohon belas kasih Tuhan: "Yesus, Anak Daud kasihanilah aku." Inilah suara keterlibatan sang buta di pinggir jalan. 

Doa adalah bentuk keterlibatan

Ia terlibat tetapi juga ia berdoa. Ia aktif dengan suara permohonan dari pinggir jalan. Ia melawan orang-orang lain yang ingin menghentikan suara keterlibatannya. Ia berteriak semakin keras, “Yesus, Anak Daud kasihanilah aku." Doa ini merupakan doa kaum pinggiran. Pengalaman keterlibatan suara sang buta merupakan titik awal mistik perjumpaan Yesus dengan orang-orang pinggiran. Yesus berhenti dan mengatakan, "panggilah dia!" Pengalaman perjumpaan itu mengubah sekejap persepsi orang banyak. Mereka yang sebelumnya menegur dan melarang malah berulah mengatakan, "Kuatkanlah hatimu, berdirilah. Ia memanggil engkau." Kini keheningan yang terlibat dari sang buta di pinggir jalan telah mengubah begitu banyak orang. Ia telah mengubah pikiran sekian banyak orang yang cuma bisa melarang menjadi sanggup mengungkapkan kata yang meneguhkan. Kuatkanlah hatimu. Berdirilah, Ia memanggil engkau. Inilah kisah kecil seorang buta dari wilayah Peripherié zona geometri tanah suku Paumere yang belajar mengenal kontemplasi dan mencoba hening dan aktif untuk mengubah banyak orang hingga berani mengatakan: Kuatkanlah hatimu. Berdirilah. Ia memanggil engkau.

 Inocentius I.Sigaze,O.Carm

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.