5 min dibaca
Mengenal Pendekatan Caleg "Gesa-Wasi" dan Solusi Seleksi Caleg sebelum Pileg
Suara Keheningan | RP. Inosensius Ino, O.Carm

Artikel aslinya bisa dibaca di sini: Mengenal Pendekatan Caleg "Gesa - Wasi" dan Solusi Seleksi Caleg sebelum Pileg Halaman all - Kompasiana.com 

Proses seleksi caleg itu dilakukan untuk mengukur kemampuan caleg yang bisa membawa aspirasi masyarakat. Pembawa aspirasi perlu punya pendekatan yang tidak semata-mata mengutamakan uang, tapi dari komitmen dan kepeduliannya yang nyata | Ino Sigaze.

Pesta demokrasi berulang setiap lima tahun dengan riuh suasana politik yang berbeda-beda dari tahun ke tahun. Suasana menjelang pesta demokrasi itu ditandai dengan waktu pencalonan anggota dewan legislatif.

Kenyataan yang menarik dan selalu berulang adalah bahwa calon anggota dewan bermunculan dengan poster besar yang ditempelkan di pinggir jalan.Sedikit bertuliskan identitas diri, lengkap dengan gelar-gelar akademik bagi yang ada, motto dan asal daerah pencalonan tampak caleg mulai menjadi buah bibir masyarakat. 

Aksi selanjutnya adalah para caleg menjadi orang yang begitu ramah dan rajin "turba" alias turun kebawah menjumpai masyarakat sederhana.

Sejak ancang-ancang menjadi caleg hingga resmi menjadi caleg, irama hidup mereka terlihat hampir sama; hadir dalam setiap pesta saat diundang sambil membawa amplop sedikit lebih tebal.

Pola-pola caleg mengkampanyekan diri mereka tampak sama. Tidak hanya itu, ada juga metode yang dalam bahasa daerah Ende, Flores disebut "gesa" dan "wasi." Lebih lanjut, coba kita dalami metode ini.

Gesa dan wasi, metode pendekatan caleg

Gesa itu semacam blusukan ringan di tengah masyarakat untuk bincang-bincang bersama dua atau tiga orang dan selebihnya. Ya, hampir menyerupai ngobrol bareng di pinggir jalan, di kebun, di pasar, di pertokoan dan banyak tempat lainnya.Kehadiran caleg itu selalu mempesona karena mereka selalu hadir sebagai orang yang cerdas bicara, punya wawasan luas, perlahan-lahan bicara politik dan gagasan-gagasan.

Lebih dari itu, tidak pernah terlewatkan dari "gesa" itu adalah "wasi." Dalam setiap momen "gesa" itu, caleg pasti melakukan aksi "wasi" itu sendiri.Wasi  itu berarti siraman. Bentuk siraman itu beraneka ragam, mulai dengan sapaan, lalu memberikan rokok, memberi uang kepada anak-anak dari mereka yang sedang gesa atau bincang-bincang, memberikan secara spontan uang untuk belanja dan hadir dalam setiap momen kekeluargaan.

Semua pendekatan itu, cuma satu tujuan agar memikat di mata, lalu pada akhirnya mendapatkan dukungan suara. Oleh karena metode-metode pendekatan itu membutuhkan uang, maka "caleg adalah orang yang harus punya modal tebal," itu pengakuan yang muncul kebanyakan di masyarakat.Bahkan sangat mengerikan terjadi bahwa caleg meminjam uang di bank untuk pencalonannya dengan pertimbangan, nanti kalau jadi anggota dewan, maka dalam beberapa bulan saja pasti sudah dapat dibayar semuanya.

Hampir bisa dipastikan tidak ada caleg yang tidak punya modal berupa uang, entah itu uang pribadi, maupun uang pinjaman. Menjual visi, misi dan komitmen sudah terasa tidak cukup untuk meraup kepercayaan masyarakat.

Gesa-wasi dan uang sering dipakai sebagai metode pendekatan para caleg. Apakah metode itu baik dan benar? Pada prinsip metode gesa dan wasi itu tidak salah kalau lahir dari motif persaudaraan dan belas kasihan.Cuma pada momen pilkada, gesa dan wasi sering punya tujuan ganda dan akhirnya sering dicurigai.

Prinsip masyarakat yang melemahkan caleg

Sementara itu, masyarakat kita sudah cerdas bahkan ada yang punya prinsip seperti ini, "Jika caleg datang beri uang, maka kami akan menerimanya, tapi untuk memilihnya, ya lihat saja."Prinsip seperti itulah yang sudah berulang kali menjatuhkan para caleg yang modalnya cuma pakai uang. Politik uang (Money politic) rupanya sudah menjamur, bahkan sudah mewabah, mungkin  juga tingkat keparahannya seperti sudah pandemi.

Oleh karena modal uang, lalu orang bisa menjadi caleg, maka tampak sekali bermunculan banyak sekali caleg dari tengah masyarakat. Siapa yang bisa melarang? Tentu saja tidak bisa, karena hal itu merupakan hak politiknya warga negara Indonesia.

Solusi apa supaya politik uang itu mulai dikerdilkan?

Saya pernah bertanya dengan pertanyaa yang sama: "Solusi apa supaya para caleg jauh dari politik uang?" kepada masyarakat di kampung dan beberapa tempat di Flores, uniknya adalah bahwa jawaban mereka sangat cepat dan sama, "bahwa tidak ada politik yang tanpa ongkos uang."

Memang politik membutuhkan biaya, tapi apakah tidak mungkin jika para caleg itu tidak bermain uang untuk perebutan suara? Tentu saja jawabannya sama. Semua dan apa saja yang berurusan dengan politik pasti membutuhkan uang.

Jadi, rupanya politik uang itu sudah mengakar dalam pikiran masyarakat umumnya. Pertanyaan lainnya apakah mungkin ada solusi lain yang menggantikan politik uang?

Solusi seleksi calon, alternatif yang menekan politik uang?

Dalam kesempatan diskusi dengan masyarakat saat liburan tahun lalu, saya sempat memperlihatkan kemungkinan solusi alternatif supaya komitmen itu harus lebih penting dari uang.Bagaimana caranya? 

Kemungkinan yang bisa dilakukan seperti ini: Pemetaan wilayah pemilihan dan jumlah calon yang ada itu sangat penting. Pertama-tama penting dilakukan adalah bahwa hak suara para calon itu harus diakui.Kemudian melalui pertemuan bersama semua calon yang bisa diorganisir oleh tokoh masyarakat, tokoh adat dan mungkin juga tokoh pemerintah, supaya semua caleg bisa menyepakati adanya proses seleksi calon.

Memang langkah ini tidak mudah, namun mungkin saja paling pasti membawa calon kepada suara pemenang. Kepastian kemenangan itu bukan saja berhenti dengan ukuran peroleh suara terbanyak, tetapi lebih dari itu yang menjadi pemenang itu disertai dengan kualitas pribadi yang bisa dianadalkan.

Siapa yang akan menjadi tim seleksi dan bidang apa saja yang penting diseleksi?

Baca juga artikel ini: Nama Lain dari Latto-Latto dan Pesan Latto-Latto Politik Pilpres 2024 Halaman all - Kompasiana.com 

Tim seleksi itu bisa saja orang-orang Netral, misalnya para dosen dari Universitas setempat dan juga tokoh-tokoh adat. Bbidang apa saja yang perlu diseleksi. Ada 5 bidang yang penting disoroti dalam proses seleksi caleg:

1. Bidang politik dan wawasan kebangsaan, Pancasila, UUD 1945 dan pemahaman tentang Bhineka Tungal Ika.

2. Bidang pengetahuan sosial kemasyarakatan dan nilai-nilai keagamaan

3. Bidang komunikasi sosial dan bahasa

4. Bidang budaya dan kebijaksanaan lokal

5. Bidang ilmu pengetahuan dan presentasi gagasan

Mungkin saja masih ada bidang lainnya, namun hemat saya 5 bidang itu sangat penting untuk dimiliki oleh seorang caleg. Logikanya seperti ini:

Jika seorang caleg mengerti politik dan punya wawasan kebangsaan, Pancasila, UUD 1945 dan pemahaman tentang Bhineka Tungal Ika yang memadai, maka tujuan politik untuk kesejahteraan masyarakat tidak akan dicederai.

Jika caleg punya wawasan sosial kemasyarakatan dan pemahaman nilai-nilai keagamaan yang baik, maka dia tidak akan memanipulasi nilai-nilai itu untuk tujuan politiknya.

Jika caleg itu punya kemampuan komunikasi sosial dan kemampuan bahasa yang bagus, maka ia akan mampu membangun komunikasi dengan semua orang, baik secara vertikal dan horizontal dalam lobi-lobi politiknya.

Jika caleg itu punya wawasan kebudayaan dan kebijaksanaan lokal, maka ia akan bisa menjadi bijaksana dalam tutur kata dan perbuatannya.

Baca juga puisi ini: Riuh Resah Kata-kata Halaman all - Kompasiana.com 

Jika caleg itu punya keilmuan dan pengetahuan yang cukup, maka ia pasti bisa mempresentasikan gagasan-gagasan visioner yang dapat dipertanggungjawabkan dengan argumen-argumen yang waras dan aktual.

Mengapa 5 logika itu penting, karena jika tanpa 5 kemampuan itu, maka caleg itu hanya memikirkan kepentingan pengembalian uangnya saja.

Tidak perlu lagi, bahwa para caleg akan mengikuti studi banding ke mana-mana, tetapi lebih fokus bicara tentang aspirasi masyarakat yang dibawanya dan membuat pertimbangan-pertimbangan yang penting dan berdampak bagi kesejahteraan masyarakat.

Caleg yang lolos dalam proses seleksi caleg itu sudah pasti punya 5 kemampuan itu dan tentu saja bisa diharapkan untuk menjadi anggota dewan yang baik dan bijaksana. Lebih baik seorang caleg diketahui punya 5 kemampuan di atas, daripada orang tidak tahu apa-apa, hanya gesa dan wasi di jalan dan di mana-mana, lalu menjadi anggota dewan.

Siapa yang menebar uang di langkah awal karirnya, maka dia akan mengumpulkan uang di puncak karirnya. Kalau demikian, apa yang bisa dia lakukan untuk rakyat?

Tujuan dari proses seleksi

Tujuan dari proses seleksi itu tidak lain agar jumlah pemilih dan jumlah calon itu menjadi efektif, sehingga berdampak pada keterwakilan dari setiap kantung suara. Tanpa ada perhitungan seperti itu, maka yang ada cuma jumlah suara yang menggiurkan, tapi sia-sia dan jumlah caleg yang banyak hanya sebatas caleg dengan pajangan foto mereka di pinggir jalan, tanpa benar menjadi anggota dewan legislatif.

Baca juga artikel ini: 4 Alasan Hilangkan Perbedaan Kaya-Miskin dengan Sistem Kartu Perodik KRL "Mittlerer Preis" Halaman all - Kompasiana.com 

Apa artinya menjadi caleg tapi tidak menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meski dari kantong suara ribuan jumlahnya? Kenyataan itu sudah menunjukkan seberapa besar kualitas hidup sosial di masyarakat.

Masyarakat yang rawan pecah dan dangkal ilmumu bisa saja terlihat dari kenyataan itu. Basis suara begitu banyak, tapi tidak ada satu caleg pun yang menjadi pemenangnya.

Politik akhirnya tidak pernah mengenal jalan lurus.

Salam berbagi, ino, 11.01.2023.

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.