3 min dibaca
Going to Periphery, Dilema antara Winter dan Tunawisma
Suara Keheningan | RP. Inosensius Ino, O.Carm

Ada orang yang tidak punya rumah, tetapi merasakan kehangatan; tapi ada juga yang punya rumah, tapi tidak punya kehangatan di sana | Ino Sigaze

Artikel aslinya baca di sini: Going to Periphery, Dilema antara Winter dan Tunawisma Halaman 1 - Kompasiana.com 

Tema tentang krisis energi di benua Eropa sorotan Kompasina kali ini datang bersamaan dengan hadirnya musim dingin, Winterzeit. Kemarin saya sudah menulis tentang "Krisis Energi dan 5 Siasat Kemandirian Energi di Jerman", terlewatkan dari pembahasan itu sebenarnya berkaitan dengan kenyataan para tunawisma di Jerman.

Coba bayangkan saja kita yang punya rumah saja sudah waswas dengan musim dingin ekstrim nanti, nah bagaimana dengan mereka yang tidak punya rumah? Memang sih kalau dilihat dalam diri mereka tidak ada kecemasan apa-apa.

Beberapa waktu lalu ketika saya melihat di depan sebuah gereja yang pernah dibom pada perang dunia kedua di Mainz, saya tersentak oleh seorang pria tunawisma (Obdachlosen) di pelataran gereja itu.Memang dari segi wajahnya, sebenarnya tidak asing lagi. 

Saya sudah sering melihat pria tua itu di Mainz. Saya mengenal mereka di daerah sekitar tempat tinggal saya ada 5 orang. 

Tunawisma dan pertanyaan tentang arti hidup

Terkadang saya diam terpekur di dekat tempat di mana mereka tidur. Saya terdiam sejenak untuk merenungkan tentang apa artinya hidup ini dari sudut pandang mereka. Pada hari Sabtu minggu lalu, tepatnya jam 7.00 pagi saat saya membeli roti, saya melihat mereka tidur di bawah kolom jembatan kecil dekat tempat kerja saya.

Saya benar-benar menarik nafas dalam dan bergulat dengan pikiran saya sendiri. Ada beberapa pikiran yang muncul pada saat itu: Hidup itu ternyata begitu sederhana. Mereka tidak pernah ribut memikirkan rencana dan masa depan, tetapi sejak 2014 mereka bertahan sehat sampai sekarang. 

Baca juga artikel menarik lainnya: Situs Kampung Tua Nua Mbari dengan Gagasan Pentagram, Misteri Perempuan Embe Zero dan Gugusan Air Terjun Tiwu Awu Halaman 1 - Kompasiana.com 

Apa yang mereka lakukan setiap hari cuma membaca dan tidur. Lalu duduk pindah-pindah tempat, menjemurkan diri mereka di matahari, lalu kembali lagi tidur di bawah kolom jembatan kecil itu.Dari pilihan tempat tinggal mereka itu, tampak jelas bahwa mereka tidak membutuhkan penerangan ekstra di malam hari, mereka tidak membutuhkan gas untuk menghangat tubuh mereka sendiri. 

Hidup, apa sih hidup itu? Cuma ada 2 sepatu, dua tas, tongkat, topi, dan beberapa jacket. Setiap hari mereka dapat makanan, entah siapa yang memberikannya.Mereka tentu saja bukan pemungut (Der Sammler) karena mereka tidak banyak barang. 

Mereka tentu saja bukan politikus, yang sibuk setiap hari berdebat tentang kepentingan partai mereka. Mereka tentu saja berbeda dari semua yang hidup di bumi.Hidup seakan-akan tidak berdaya, namun mereka bertahan hingga sekarang melampaui saat-saat krisis Covid-19. 

Hidup tanpa punya rumah di tengah krisis, mungkinkah?Bagi kebanyakan manusia normal dan rasional hidup seperti itu memang terlalu riskan. Hidup tanpa punya rencana dan harapan, tapi jangan dulu, kalau dilihat dari sisi mereka, mungkin saja mereka adalah orang paling berbahagia.

Mereka tidak pernah mengenal keributan, kecemasan, ketakutan akan aneka krisis saat ini. Mereka hidup tanpa banyak mengerut dahi dan kening untuk terus berpikir bagaimana hari esok nanti.Bagi mereka hidup itu sederhana dan berjalan begitu saja hari demi hari. Mereka hidup dalam kepercayaan bahwa masih ada orang yang bisa memberi. Namun, bagaimana tentang musim dingin nanti?

Winter dan Tunawisma 

Musim dingin akan tiba. Diskusi tentang krisis energi telah menjadi konsumsi media setiap harinya. Tapi, apa kata tunawisma? Tidak terdengar keluhan, bahkan tanpa kata protes dan cemas dari mereka.Setiap hari mereka tampak tenang. Tidak pernah gelisah bertanya ke mana-mana. 

Tidur merentang kaki mereka dengan balutan selimut tebal, sambil menghabiskan waktu dengan membaca buku-buku kesukaan.Mereka mungkin sedang heran dengan orang-orang yang punya rumah, "kenapa mereka begitu takut kalau musim dingin tiba nantinya?"

Jangan lewatkan yang satu ini: Krisis Energi dan 5 Siasat Kemandirian Energi di Jerman Halaman 1 - Kompasiana.com 

Punya rumah, seakan-akan tidak punya kehangatan, punya uang, tapi mereka berpura-pura merana. Punya teman, tapi tidak pernah bercerita. Punya tetangga, tapi tidak pernah menyapa. 

Dingin.....itu bukan cuma soal suhu alam, tetapi juga soal suhu rasa, suhu perhatian, suhu cinta, suhu kecemasan dan ketakutan, suhu kegelisahan manusia.

Kegelisahan akan winter saat ini, bisa saja dari sudut pandang tunawisma adalah bagian dari kedinginan dan kebekuan pandangan yang terlalu terlena saat di support sahabat-sahabat dari dulu kala.

Winter akan dilalui dalam balutan selimut pemberian orang. Winter akan menjadi teman ketika ada ruangan kecil yang bisa meletakan kepala hingga pagi tiba. Pada pinggiran bangunan dan tempat parkiran itulah pilihan aman di musim dingin bagi tunawisma di kota Mainz.

Going to periphery

Pilihan pergi ke pinggir itu nyata pilihan 5 pria yang pernah saya lihat. Tidak ada pilihan lain yang paling aman bagi mereka, selain di stasiun kereta, garasi mobil, dan depan bangunan Müller. 

Berteduh semalam di pinggir pertokoan, di pinggir bangunan tua, di pinggir parkiran rupanya merupakan pilihan ideal mereka. Tidak masuk akal bukan? Tapi, semua telah mereka lalui, mulai dari suhu ekstrim minus 10 derajat.

Filosofi kehidupan 5 pria yang memilih pergi ke pinggiran (going to periphery) mungkin kali ini mesti dipikirkan lagi oleh pemerintah. Musim dingin ekstrim mungkin akan lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Mereka mungkin saja tidak punya solusi dan tidak punya suara pengeras yang berteriak minta selimut dan penghangat.

Siapa yang harus menolong mereka? Tentu saja pemerintah. Pemerintah Jerman selalu punya dana dan perhatian untuk orang-orang seperti itu, persoalannya adalah bahwa mereka tidak mau diatur dan tidak mau tinggal pada fasilitas yang disediakan pemerintah. 

Lalu, harus nuduh siapa yang salah? Inilah kenyataan dunia kita. Kebebasan pribadi dihargai hingga terasa tidak manusiawi. Bagi saya kenyataan itu lebih merupakan realitas inspiratif yang punya sisi terbuka pada refleksi tentang kehidupan dan kebebasan manusia di tengah krisis ini.

Tentu pilihan untuk pergi ke pinggiran adalah pilihan literasi seorang penulis. Realitas dilematis antara kebebasan pribadi dan kebijakan pemerintah adalah kenyataan menarik untuk dilukis dalam tulisan.

Akhirnya saya hanya bisa menyimpan fakta di kota ini dalam tulisan kecil kali ini. Sebuah narasi dan refleksi kecil tentang 5 pria yang tidak punya rumah tetapi mereka tampak punya kehangatan, yang bisa saja berbanding terbalik dengan sekian juta orang yang punya rumah, tetapi tidak merasakan kehangatan di sana.

Salam berbagi, ino, 11.11.2022.

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.