5 min dibaca
Ada 5 Alasan Riset Menjadi Pilihan Prioritas Pendidikan di Indonesia

Suara Keheningan | Inosensius I. Sigaze

Baca artikel aslinya di sini: Ada 5 Alasan Riset Menjadi Pilihan Prioritas Pendidikan di Indonesia Halaman 1 - Kompasiana.com

"Jangan berhenti melakukan riset, kalau ingin nama anak bangsa akan menjadi footnote bagi dunia."

Riset sebagai dasar untuk menopang dan memunculkan pengetahuan baru dari ilmuwan Tanah Air bukan pilihan suka-suka, jika bangsa Indonesia memang serius mau menjadi narasumber ilmu pengetahuan. Riset harusnya menjadi pilihan prioritas pendidikan di Indonesia. 

Indonesia bukan bangsa yang hidup seperti dagelan politik "sebuah Republik Mimpi", tetapi bangsa yang gemar melakukan riset. Ya, anak-anak bangsanya adalah ilmuwan masa depan bangsa ini yang bisa mengubah stereotip bahwa catatan kaki tulisan, bukan lagi semuanya nama orang asing, tetapi nama ilmuwan Indonesia. 

Pertanyaannya, mengapa diskursus terkait riset itu bukan saja soal level kesejahteraan ilmuwan dan apresiasi negara, tetapi soal pilihan prioritas pendidikan? Ini ada beberapa alasannya: 

1. Riset itu merujuk pada pengakuan martabat bangsa

Saya punya keyakinan bahwa bangsa yang gemar melakukan riset adalah bangsa yang punya taraf keilmuan yang tinggi. Sebaliknya tingkat intelektualitas suatu bangsa itu akan tidak diperhitungkan, jika anak bangsanya sama sekali tidak punya gairah untuk melakukan riset dan gemar menulis.

Riset sebenarnya bukan saja soal karena tawaran dan janji pemerintah yang menggiurkan, tetapi mesti juga muncul dari kegemaran atau daya dorong dari dalam diri anak bangsa yang ingin memiliki ilmu yang pantas menjadi rujukan umum banyak orang.

Tanpa rasa ingin tahu yang memotivasi periset, maka tetap saja hemat saya tidak maksimal dalam pelaksanaanya. Kemauan tulus dari anak bangsa ini untuk melakukan riset tentu merupakan modal besar yang mesti didukung terkait kesejahteraan dan apresiasi negara.

Kemauan tulus anak bangsa itu mesti disupport dengan perspektif positif yang lebih besar seperti riset itu sebagai solusi untuk memperoleh pengakuan (Anerkennung) martabat bangsa di mata dunia. Sebuah pengakuan yang bergengsi tentu tidak hanya dalam bidang olahraga, tetapi lebih-lebih dalam kemajuan teknik dan ilmu pengetahuan.

Pengalaman pertama melakukan riset pada tahun 2006 membuka wawasan bahwa riset itu bukan saja berurusan dengan berapa dana proposal yang dikabulkan institusi pendukung penelitian, tetapi lebih-lebih karena kemauan pribadi yang kuat yang terdorong oleh rasa ingin tahu yang berkobar-kobar.

Nyala cinta untuk meraih ilmu dari data-data lapangan tidak bisa dihentikan oleh tantangan seperti kendala keuangan dan situasi di lapangan. Niat untuk mencari (streben nach) informasi yang penting terkait tema penelitian terus menggerakan hari-hari penelitian.

Pada prinsipnya tantangan apa pun akan tetap bisa dilewati kalau dengan visi yang besar bahwa riset itu sendiri akan menjadi takaran dari martabat keilmuan bangsa ini.

2. Riset itu pilihan untuk menghidupkan warisan dan peradaban yang mati

Riset itu sendiri memang akan menyentuh banyak bidang kehidupan. Tidak bisa terhindarkan bahwa riset itu sendiri akan mencakup sesi perjumpaannya dengan peradaban dan warisan entah itu local wisdom di masyarakat atau keyakinan, adat istiadat, fenomena zaman dan tentu banyak sekali hal yang terhubung di dalamnya.

Sejauh pengalaman pribadi, saya berani mengatakan bahwa riset itu sendiri berkaitan dengan pilihan untuk menghidupkan warisan dan peradaban yang telah mati. Konteks dan latar belakang pemahaman itu berangkat dari cerita orang-orang tua dulu bahwa semestinya masih banyak sekali warisan adat istiadat yang dijaga dan dilestarikan, namun pada era kolonisasi itu corak peradaban bangsa ini sepertinya banyak yang hilang dan ditinggalkan.

Pengaruh kolonisasi dan letupan paradigma intelektual Barat secara langsung maupun tidak langsung pada masa itu telah mengubah cara pandang masyarakat Indonesia, termasuk di dalamnya sampai punya keputusan sendiri untuk melepaskan tradisi mereka atau mewariskan pada generasi selanjutnya.

Nah, riset pada saat ini, bisa merupakan terobosan intelektual yang bisa memberikan paradigma baru tentang sentral ilmu pengetahuan dalam kancah global. Sebenarnya ada satu persaingan global dalam penemuan-penemuan di bidang ilmu pengetahuan, namun bagaimana bisa bersaing kalau tanpa ada gairah untuk riset.

Saya amati ada satu fenomena yang menarik hampir di seluruh universitas di Jerman bahwa berlaku ketentuan bagi mahasiswanya untuk satu tahun program di luar negeri (Ausland zu studieren) sebelum menyelesaikan program Strata 1 mereka dan ada juga untuk program S2.

Kebanyakan mahasiswa itu menemukan ketertarikan (Interesse) untuk riset di luar negeri. Nah, saya pernah berdiskusi dengan beberapa mahasiswa/i Jerman terkait hal itu dengan pertanyaan mengapa lebih tertarik ke luar negeri?Jawaban mereka dengan nada yang ketus: "Mau riset apa di sini, tidak ada yang menarik dan unik dan hampir semua sudah dibicarakan oleh orang lain." 

Nah, jawaban itu bagi saya sangat penting. Artinya, tanpa kita sadari sebenarnya ruang riset itu sendiri saat ini sedang diperebutkan.Semakin aneh lagi, kalau kita sendiri tidak punya ketertarikan untuk menelaah warisan dan peradaban bangsa kita sendiri. 

Saya berharap bahwa mental kebanyakan orang yang merasa lebih dihargai kalau ada peneliti asing itu harus diluruskan perspektifnya. Atau akan lebih menarik kalau orang lain menulis tentang kita daripada kita sendiri menulis tentang kita.

Saya justru berpikir sebaliknya, akan lebih menarik orang kita menulis tentang kita, daripada orang lain menulis tentang kita, mengapa? Orang lain tidak mengenal roh dari suatu perubahan dan fenomena-fenomena yang ada, apalagi dalam kaitannya dengan konteks bahasa-bahasa adat yang maknanya sangat dalam. Risiko kesalahan dalam penafsiran sangat besar kalau orang lain menulis tentang kita. 

Oleh karena itu, pilihan untuk riset di tanah air sebenarnya adalah prioritas tidak tergantikan. Ya, riset untuk menghidupkan kembali warisan dan peradaban yang kaya dengan nilai, makna dan pesan kehidupan.

3. Riset itu cara mengubah kiblat radikalisme

Riset tidak hanya punya tujuan untuk mengangkat martabat keilmuan dan menghidupkan warisan dan peradaban yang kaya dengan pesan spiritualitasnya, tetapi pada sisi yang lain saya pikir riset itu juga adalah cara untuk mengubah kiblat radikalisme di Indonesia.

Akar dari radikalisme itu bisa saja karena orang hanya bisa dicekoki dengan dogma fanatis tanpa ada kemungkinan dialog dengan tafsiran yang mengacu pada standar moral umum. Bahkan nafas dari radikalisme itu seperti sudah menutup saluran rasa ingin tahu untuk membuktikan kebenaran-kebenaran yang diyakini.

Nah, mestinya sebelum menjadi fanatis untuk percaya pada suatu ajaran, orang perlu riset dulu dong, benarkah itu bisa diterima publik atau benarkan itu sesuai dengan standar ilmu pengetahuan umumnya? Latar belakang masyarakat yang jauh dari pengaruh budaya riset itulah yang memungkinkan tumbuhnya mental "percaya saja." 

Oleh karena itu, saya melihat bahwa ada celah untuk mengubah kiblat fenomena radikalisme di Indonesia dengan mengembangkan gairan riset di semua jenjang pendidikan.

Tentu tingkat kesulitan riset harus bisa disesuaikan dengan tingkat usia belajar. Hal penting bahwa budaya riset perlu dibangun dalam setiap jenjang pendidikan anak bangsa. 

4. Riset itu cara terbaik menepis hoax

Selain riset itu berkaitan dengan visi mengubah kiblat radikalisme, penting juga bahwa riset bisa menjadi cara terbaik untuk menepis hoax. Dewasa ini, banyak sekali informasi hoax yang bisa diberikan oleh siapa saja. Bahkan pada umumnya, orang tidak merasa bersalah karena memberikan informasi palsu. 

Belum lagi hoax dipakai sampai pada tingkat instrumen politik untuk menjatuhkan lawan politik. Mengapa bisa terjadi seperti itu? Saya yakin salah satu sebabnya adalah karena pendidikan di Indonesia belum memberikan tempat riset sebagai prioritas penting dalam pendidikan secara umum.

Sebagai akibatnya orang-orang penting dan berpendidikan pun bisa tidak menghargai kebenaran dari suatu informasi, bahkan memanipulasi informasi tanpa ada beban hati nurani. Riset perlu menjadi darah daging anak bangsa, sehingga mental anak bangsa ini tidak mau percaya saja tanpa temuan riset seseorang atau bahkan tidak akan berbangga kalau melakukan hoax. Iklim riset perlu diciptakan hingga menjadi suatu kebiasaan yang hidup dalam setiap jenjang pendidikan.

5. Riset itu cara membangun lumbung ilmu

Melakukan riset tidak banyak disadari sebagai cara membangun lumbung ilmu pengetahuan. Saya percaya itu karena berangkat dari pengalaman pribadi melakukan riset.

Informan kunci tidak akan hidup selamanya. Oleh karena itu, apa yang mereka tahu tentang warisan dan peradaban akan berhenti bersamaan dengan usia pikun dan saat mereka meninggal dunia. 

Beberapa pemberi informasi kunci dalam riset saya pada tahun 2006 sudah meninggal, lantas saya sempat berpikir bahwa apa jadinya kalau apa yang mereka tahu itu tidak pernah ditulis atau tidak pernah diteliti. Mereka seakan meninggal tanpa meninggalkan jejak cerita tentang keilmuan. 

Dari pengalaman itulah sebetulnya riset itu sangat penting, ya seperti membangun lumbung ilmu yang mungkin saja saat ini belum dibutuhkan, tetapi suatu saat pasti hasil riset itu menjadi sangat berarti sebagai satu rujukan ilmu pengetahuan.

Demikian gagasan-gagasan tentang riset yang sedang menjadi topik pembicaraan di negeri tercinta ini, secara khusus berkaitan dengan tantangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Riset tidak hanya berkaitan dengan level kesejahteraan dan apresiasi negara, tetapi lebih-lebih hendaknya menjadi prioritas pendidikan. 

Ya, pendidikan dan kurikulum yang berbasiskan riset dan inovasi, tidak hanya akan menumbuhkan gairah anak bangsa untuk semakin menjaga martabat keilmuan bangsa dan negara ini, tetapi juga dalam banyak aspek berdampak juga dalam menepis isu-isu dan fenomena radikalisme dan hoax.

Riset pada akhirnya diharapkan menjadi darah daging anak bangsa ini. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia hendaknya menjadikan riset sebagai prioritas pendidikan dan terus membangun iklim rasa ingin tahu untuk melawan gejolak "percaya saja." 

Atas dasar itulah, maka sepantasnya jaminan kesejahteraan untuk peneliti-peneliti profesional yang menjawab kebutuhan keilmuan bangsa ini diapresiasi oleh negara. Sekalipun demikian, hendaknya jiwa riset tidak akan berhenti jika tanpa ada jaminan kesejahteraan yang pantas dan apresiasinya yang wajar. 

Bagaimanapun nama dan jasa periset itu akan dikenang, karena jasa dan karya mereka dalam membangun lumbung ilmu pengetahuan masa depan bangsa ini tidak akan bisa terhapus ketika sekali ditulis.

Salam berbagi, ino, 11.01.2022

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.