5 min dibaca
4 Dilema Pertumbuhan Populasi Manusia, Antara Persaudaraan Universal dan Kepentingan Individu Negara
Suara Keheningan | RP. Inosensius Ino, O.Carm

Kekhwatiran akan sirna, ketika hati dan pikiran manusia berisikan cinta dan persaudaraan universal. Banyak jumlahnya boleh-boleh saja, asal berkualitas | Ino Sigaze.

Artikel ini pernah ditayangkan di sini: 4 Dilema Pertumbuhan Populasi Manusia, Antara Persaudaraan Universal dan Kepentingan Individu Negara Halaman 1 - Kompasiana.com 

Tema tentang populasi manusia mencapai 8 miliar merupakan tema yang sangat aktual saat ini. Tepat pada saatnya, jika Kompasiana mengangkat tema ini sebagai tema pilihan untuk dijadikan rujukan refleksi, opini dan analisis saat ini. 

Dari angka 8 miliar manusia di dunia tentu saja membuat kita bertanya-tanya, bahkan cemas. Pikiran spontan bisa saja menjadi begitu liar ke arah ledakan penduduk dunia. 

Ya, bisa saja, cuma kendalanya itu adalah kecemasan yang datang spontan tanpa analisis yang dilihat dari berbagai sudut pandang.

Tulisan ini tentu saja hanya menyoroti satu sudut pandang terkait populasi 8 miliar itu. Bagi saya populasi itu belum dilihat sebagai satu persoalan, tetapi suatu keadaan yang punya potensi menjadi suatu persoalan, jika tanpa ada beberapa konsep yang penting dimiliki manusia.

Baca juga Artikel ini: Apakah Penulis Itu Seperti Rajawali? Halaman 1 - Kompasiana.com 

Oleh karena perspektif seperti itu, saya lebih menyorotinya tema populasi 8 miliar itu sebagai suatu dilema. Ya, dilema antara persaudaraan universal dan kepentingan individu negara-negara di dunia.

Apa latar belakang argumen dilematis terhadap pertumbuhan populasi manusia 8 miliar itu?

1. Fakta tentang planet bumi versi studyflix.de

Bumi adalah planet terbesar kelima di rotasi tata surya kita. Bumi memiliki diameter sebesar 12.742 km, sedangkan jari-jarinya atau jarak dari pusat bumi dan permukaan bumi, berukuran setengah dari diameter bumi itu sendiri, yaitu 6.371 km. 

Sedangkan bagi yang ingin mengelilingi bumi, dia harus menempuh jarak sekitar 40.000 kilometer.Perlu diketahui bahwa massa bumi sebesar 5,972 triliun ton. Di ekuator diameter bumi pada kenyataannya lebih lebar yaitu sebesar 12.756. kilometer.

Pertanyaannya, apakah bumi dengan luas seperti itu sudah tidak sanggup menjadi tempat hidup manusia 8 miliar orang? Tentu kita membutuhkan perhitungan matematis sesuai standar negara masing-masing tentang kelayakan hidup manusia per orang berapa meter tanah yang dibutuhkan untuk ruang lingkup yang aman dan sehat.

2. Fakta perjalanan darat dan udara, pengalaman pribadi yang mengubah cara pandang

Perhitungan luas bumi di atas memang perhitungan matematis yang belum dihitung dengan kemungkinan berapa luas lautan yang bisa dikembangkan sebagai tempat tinggal manusia. Ya, karena manusia belum berpikir bahwa manusia tidak hanya bisa tinggal di daratan, jadi mungkin saja dunia terasa begitu sempit. 

Andaikan ada gagasan seperti bentuk reklamasi, maka bisa saja bumi ini belum terlalu kecil untuk kehidupan 8 miliar orang. Fakta lain adalah kenyataan yang saya lihat sendiri, misalnya pada 13 Mei 2022 dalam perjalanan ke Roma, Vatikan dengan menggunakan mobil dari Jerman, saya melihat masih begitu besar dan luasnya tanah, bahkan tidak terhitung yang belum dihuni manusia. 

Dari sisi itu, spontan saya membayangkan ternyata masih begitu banyak tempat untuk manusia. Tidak hanya itu, dari arah Jerman ke Perancis pada tahun 2019, saya menyaksikan ada begitu luas tanah yang belum dihuni manusia, terasa masih sangat cukup luas disana jika memang ada ledakan penduduk. 

Demikian pula, ketika saya berangkat dari Madrid ke Santiago Compostela dan ke Portugal, saya melihat betapa luasnya wilayah yang belum dihuni dan bahkan belum diolah manusia.

Dalam satu diskusi dengan teman orang Jerman, terkait berapa luasnya Indonesia, saya mengatakan bahwa dengan menggunakan pesawat dari Medan ke Papua kurang lebih membutuhkan waktu 9 jam, itu artinya wilayah Indonesia masih sama luasnya dari Dubai ke Jakarta. 

Ya penerbangan 9 jam dari Dubai ke Jakarta. Apakah 17.300 pulau itu sudah dihuni sekitar 3/4? Saya yakin sih belum. Ya, kita punya tanah yang luas, masih ada banyak sekali pulau-pulau yang belum dihuni manusia.Saya masih ingat pada tahun 2014 pernah selama 2 minggu menggunakan speed boat menyusuri pedalaman Papua hingga melintas daerah Triton dan laut Arafura, dan saya melihat betapa luasnya Papua, tanah tanpa penghuni yang masih begitu luas. Berapa juta orang bisa mengisi tanah-tanah itu, jika memang dalam keadaan terdesak. 

3. Konsep dilematis, kekuasaan negara dan kepentingan individu negara-negara

Dua fakta di atas membuat saya optimis tentunya, sayangnya saya belum pernah melihat luas Rusia, China, Brazil, India yang belum dihuni manusia. Meskipun tampak bumi ini masih cukup luas yang belum dihuni manusia, tetap saja ada kekhawatiran terhadap populasi 8 miliar itu. 

Alasan kekhawatiran itu bukan karena bumi ini terlalu kecil untuk jumlah manusia 8 miliar itu, tetapi menurut saya karena konsep manusia tentang kehidupan itu yang tidak pasti. 

Setiap negara penghuni bumi ini merasa seakan-akan sudah merebut bagian bumi menjadi milik pribadinya.

Problem kepadatan penduduk akhirnya dilihat sebagai problem perluasan wilayah negara. Di sanalah akar dari okupasi sejak dulu jaman kerajaan Romawi hingga sekarang, paling aktual adalah cerita Rusia dan Ukraina.Persoalan hak milik bumi, kekuasaan dan kepadatan penduduk suatu negara tidak bisa menemukan solusi global yang mantap tanpa dilandasi dengan dasar konsep dan spiritualitas persaudaraan yang universal.

Ya, manusia mungkin telah kehilangan rasa, solidaritas dan persaudaraan universal. Solusi kepadatan penduduk suatu negara, hanya bisa menemukan titik terang dengan menggunakan alat kekuasaan, tanpa dialog persaudaraan.

Jika sampai pada kenyataan seperti itu, tentu sangat jelas, bahwa jumlah populasi 8 miliar sungguh merupakan persoalan dramatis dunia saat ini. Persoalan pertumbuhan populasi itu sangat mungkin menjadi persoalan perebutan wilayah negara.

4. Apakah tidak mungkin adanya program pemerintah terkait pembatasan angka kelahiran?

Program pembatasan angka kelahiran mungkin bisa diberlakukan hanya untuk konteks Indonesia atau negara-negara lainnya, namun kalau dikritisi, mungkin ada titik lemahnya.

Eropa tentu saja akan menolak keras gagasan program pembatasan angka kelahiran. Tentu saja bukan karena bahwa program itu tidak baik, tetapi bentuk pemaksaan itu sudah pasti dianggap tidak baik dan tidak benar dalam konteks kebebasan pribadi mereka untuk menentukan hidup mereka sendiri. 

Kebebasan (Freiheit) itu kata kunci mereka yang tidak boleh dipaksakan.Eropa sudah berbeda pola hidup dan kesadaran mereka, kalau tidak mau dibilang aneh. Kebanyakan pasangan muda lebih memilih kerja dan kerja, daripada berpikir punya anak. Berbeda dengan orang Indonesia, belum menikah saja sudah punya anak. Ya, itu kenyataan.

Lagi-lagi itu dilema yang bisa sangat berbeda-beda sesuai dengan latar belakang cara pikir masing-masing orang dari masing-masing negara.

Solusi di tengah kegalauan populasi 8 miliar

Tawaran solusi ini tentu saja sangat ideal. Ya, hal ini karena solusi ini lebih terkait soal konsep dan isi kepala manusia. Sederhananya saya bisa formulasikan bahwa, jika negara-negara punya gagasan tentang persaudaraan universal (universelle Bruderschaft), maka persoalan kepadatan penduduk suatu negara bisa dibicarakan bersama dan bisa menjadi jalan tengah.

Coba bayangan andaikan kepadatan pendudukan Surya membludak, maka saat ini tentu saja sudah teratasi karena sekian banyak penduduk Surya yang hidup di Jerman. Atau umumnya dalam beberapa tahun ini ada lebih dari 4 juta orang asing hidup dan tinggal di Jerman.Semua itu bisa terjadi karena ada kolaborasi gagasan yang dipadukan dengan dasar konsep spiritualitas (Spiritualität)persaudaraan universal. 

Semua manusia itu adalah saudara. Dalam hal ini Jerman dan beberapa negara di Eropa tidak lagi idealis, tetapi sudah terjun ke solusi praktis saat ini, mereka menjadi saudara bagi yang lainnya.

Sekali lagi hal yang menjadi kendala sebenarnya bukan soal kuantitas atau jumlah manusia, tetapi kualitas manusia. Jika semakin banyak manusia dan semakin banyak yang egois dan tidak peduli pada orang lain, maka dunia ini benar-benar punya problem.

Sebaliknya jika manusia penghuni dunia ini masih punya hati yang bisa menerima orang lain dari negara lain untuk hidup bukan sebagai tetangga saja, tapi sebagai saudaranya, maka persoalan dan kekhawatiran mungkin tidak parah.

Apakah agama-agama tidak mengajarkan persaudaraan universal?

Saya sangat yakin bahwa agama yang dianut manusia di bumi ini pasti mengajarkan pasal tentang persaudaraan. Setiap pemeluk agama umumnya tahu itu. Dalam satu diskusi singkat dengan satu mahasiswa asal Indonesia yang atheis, dia menjelaskan bahwa dia bisa mencintai dan dia tahu tentang yang baik dan buruk dari hatinya, dia tahu siapa itu teman seperjuangan yang membutuhkan perhatiannya.

Dari kenyataan itu, saya percaya bahwa sebab utama dari kekacauan dunia ini bukan karena populasi manusia, tetapi karena semakin banyak manusia yang tidak peduli pada manusia lainnya, tidak peduli pada kaidah agamanya dan semakin banyak manusia yang tidak takut pada Tuhannya. 

Saya bisa mengatakan bahwa betapa berbahayanya dunia ini, jika semakin banyak manusia yang hidup dan dipengaruhi oleh ajaran radikalisme misalnya. Coba bayangkan dari 8 miliar itu, ada 1 juta saja, tentu saja sudah sangat menakutkan kehancuran dunia.

Nah, sekali lagi, ini hanya contoh bahwa dunia dan bumi akan jadi nyaman dan terawat, jika manusia punya konsep dan gagasan yang benar, punya mental dan kualitas hati yang baik; ya sekurang-kurangnya punya spiritualitas persaudaraan universal.


Salam berbagi, ino, 18.11.2022.

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.