Suara Keheningan | RP. Inosensius Ino, O.Carm
Jadilah setiap kebijakan itu mengarahkan kita kepada pemahaman 100 % menjamin kebutuhan fisik, psikis dan spiritual dan bukan cuma salah satunya | Ino Sigaze.
Baca artikel aslinya: 3 Alasan Mengkritisi Pernyataan Menteri Agama tentang Perayaan Natal, Tanpa Ada Ekstra Tenda Halaman all - Kompasiana.com
Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas dalam sambutannya mengatakan bahwa tidak ada pembatasan karena menurut instruksi Mendagri PPKM sudah level 1, sehingga diberikan kebebasan terukur. Artinya, tidak ada tenda-tenda di luar gereja untuk peribadatan (Kompas, 16/12/2022).
Kapasitas 100 % itu artinya tanpa dibangun lagi tenda-tenda di luar gereja untuk perayaan Natal. Apakah pernyataan itu sudah merupakan pernyataan yang bijaksana? Pernyataan terkait kapasitas 100% mungkin saja belum memperhitungkan aspek-aspek lainnya.
Oleh karena itu, pernyataan itu perlu dikritisi dan jika memungkinkan perlu dipikirkan lagi. Ada 3 alasan yang meminta kebijakan Menteri Agama terkait pembatasan pembangunan tenda di luar gereja itu perlu dipertimbangkan lagi.
1. Seperti apa pemahaman kapasitas 100% - fisik gereja atau hak keanggotaan sebagai umat?
Kapasitas 100 persen itu tidak bisa diukur secara fisik sesuai daya tampung ruangan gereja. Gereja di mana pun di Indonesia tidak pernah dibangun dengan kapasitas 100%. Buktinya bahwa perayaan-perayaan pada hari-hari besar dirayakan beberapa kali karena jumlah umat yang jauh melimpah ketimbang daya tampung ruangan gereja itu sendiri.
Jadi, ini soal sudut pandang, 100% itu semestinya tidak boleh diukur menurut ukuran fisik gereja atau ukuran daya tampung. Sebab jika pandangan seperti itu, maka larangan terkait pembatasan itu menjadi negatif.
Kapasitas 100% itu semestinya dihitung berdasarkan kebutuhan dan kerinduan umat untuk merayakan hari besar mereka. Kerinduan itu jauh lebih besar karena gereja itu bukan soal bangunan fisik tetapi umat beriman.
Membatasi pembangunan tenda karena kapasitas 100 persen tidak lagi muat di dalam gereja, sama saja dengan melarang dan membatasi kerinduan umat untuk merayakan Natal.
Pertanyaanya, apakah kebijakan itu satu-satunya sebagai kebijakan terbaik dan paling bijak? Bagaimana kebijakan itu bisa diterapkan pada momen hari raya, sementara pada momen demonstrasi yang menghadirkan ribuan orang tanpa batas jarak satu dengan yang lainnya, tidak ada larangan?
Bapak Menteri Agama, tolonglah lebih bijaksana lagi dalam mengambil kebijakan terkait pembatasan itu. Gereja di Indonesia tidak cukup besar untuk menampung semua umatnya yang mau hadir waktu perayaan natal.
2. Momen perayaan Natal itu adalah momen perjumpaan keluarga
Kapasitas gereja itu sudah pasti tidak sanggup karena pada momen Natal itu ada kunjungan dari sanak saudara dan kaum keluarga. Masuk akal bahwa kapasitas gereja akan melampaui 100 %, hal ini karena ada kehadiran orang-orang baru yang mengunjungi keluarga mereka.
Mungkin baik seandainya ada larangan tanpa ada ekstra dibangun tenda yang menghambat fasilitas umum, seperti menutup jalan raya dan tempat-tempat umum lainnya, tapi kalau tenda itu dibangun di dalam kompleks gereja, kenapa harus dipersoalkan? Kompleks gereja itu adalah bagian dari hitungan kapasitas 100 % gereja.
Mungkin baik, Menteri Agama mengeluarkan himbauan-himbauan yang menyadarkan orang betapa pentingnya usaha bersama kita untuk membatasi Covid dan menekan penyebarannya.
Cerita tentang menghadapi Covid ini bukan lagi cerita baru, semua orang sudah tahu seperti apa itu Covid, tapi mengapa kebijakan ini menjadi begitu terbatas.
Umat pasti tahu apa artinya kebebasan yang terukur dan itu hanya bisa dijangkau dengan himbauan-himbauan dan bukan dengan definisi yang sangat terbatas 100 % itu artinya tanpa dibangun tenda di luar gereja.
3. Pengambilan kebijakan terkait hari raya Natal mungkin perlu melalui proses dialog dengan tokoh-tokoh agama setempat
Dialog dengan tokoh-tokoh agama itu sangat penting supaya kebijakan yang dikeluarkan itu tidak menimbulkan salah tafsir dan polemik panjang.
Coba bayangkan di daerah-daerah seperti di luar Jawa, umat Kristen dan Katolik tidak punya gereja, bagaimana mereka harus menerima kebijakan kapasitas 100 %? Tidak boleh membangun tenda di luar gereja, ya sama dengan tidak boleh merayakan perayaan Natal dong.
Dari situlah, terlihat sebenarnya kebijakan menteri agama itu perlu dipertimbangkan lagi sesuai dengan latar belakang pemahaman yang lebih aktual dan sesuai kenyataan. Bahkan bila perlu ada unsur mitigasinya.
Belum lagi kalau masuk ke konteks urusan perizinan pembangunan gereja yang begitu rumit di Indonesia, ya bagaimana bisa merayakan 100 persen tanpa dibangun tenda, kalau umatnya saja tidak punya gereja, atau jika punya hanya seperti sebuah pondok kecil saja.
Perhatian dan tujuan dari kebijakan Menteri Agama tentu saja baik, cuma tidak sampai memikirkan hal-hal lainnya dan tentu saja masih ada kebijakan lain yang lebih baik dari kebijakan 100% itu.
Oleh karena itu, beberapa pertimbangan ini mungkin saja baik untuk dipikirkan lagi:
1. Pengarahan dan kedisiplinan perlu ditingkatkan terkait protokol kesehatan covid, misalnya semua umat yang hadir dalam perayaan Natal harus mengenakan masker dengan standar tertentu.
2. Konsep jaga jarak tetap diterapkan baik di dalam maupun di luar gereja.
3. Pembatasan soal menerima komuni dengan melalui mulut, komuni semuanya hanya dilayani dengan menggunakan tangan.
4. Tidak diperkenankan saling bersalaman secara langsung atau menyentuh tangan selama perayaan.
Penerapan konsep-konsep seperti itu saja sebenarnya sudah cukup membatasi kehadiran orang karena harus jaga jarak, lalu kalau tidak diizinkan membangun tenda di luar lagi, apa artinya 100%?
Barangkali ada alasan lain yang dikhawatirkan Menteri Agama soal keamanan. Sebenarnya bukan hal baru lagi di Indonesia bahwa ada pengamanan khusus ketika ada perayaan besar keagamaan.
Logikanya sederhana, pada tempat di mana potensi untuk hal yang tidak diinginkan itu besar, maka pengamanan itu harus lebih ditingkatkan dengan kapasitas 100 %.
Salam berbagi, ino, 17.12.2022.