3 min dibaca
28 Nov
28Nov

Magdalena Emmyati Tjahjadi

Aku lahir di Jakarta sebagai anak tertua dari tiga bersaudara. Setelah menyelesaikan kuliah di perguruan tinggi di Jakarta, tahun 1996 aku pindah ke Amerika Serikat, tepatnya di Maryland (negara bagian di pantai timur). Disana aku menikah dengan warga negara Amerika keturunan Italia, tiga tahun kemudian anakku lahir. Aku menetap enam tahun di negara paman Sam ini. Bulan Januari 2002 kami sekeluarga pindah ke Jerman karena suami mendapat pekerjaan di Jerman. 

Awal tahap penyesuaian diri di Jerman lebih sulit dibanding masa penyesuaian diri waktu pindah dari Indonesia ke Amerika. Ini disebabkan karena suami dan aku tidak mengerti bahasa Jerman. Pengetahuan bahasa “nol”. Masalah bahasa menjadi lebih besar setelah kami pindah ke desa kecil dengan penduduk sekitar 1200 orang di perbukitan Taunus. Nggak ada yang (mau atau bisa) berbahasa Inggris dan di desa ini aku adalah orang Asia pertama yang tinggal disana. Setelah anakku masuk TK, akhirnya aku bulatkan tekad kursus bahasa Jerman di “sekolah rakyat” – yang bahasa Jermannya disebut “Volkshochschule“. 

Kesibukan dengan pekerjaan dan keluarga, tak terasa tahun berjalan dengan begitu cepat.Sampailah di akhir tahun 2013. Tiga hari sebelum malam tahun baru, tak sengaja aku menemukan benjolan di payudara kanan. Dari dokter keluarga aku dikasih surat rujukan untuk ke rumah sakit. Tanggal 30 Desember 2013 diambil biopsi, dua minggu kemudian 14 Januari 2014 aku bertemu dengan dokter yang mengerjakan biopsi. Hasilnya: limfoma/kanker kelenjar getah bening. Nggak bisa dikatakan bagaimana perasaan aku waktu itu: campur aduk, takut, bingung, tidak terima kenyataan dan berharap diagnosa itu salah! Aku mulai dengan dunia baruku: onkologi – cabang ilmu kedokteran yang menangani penyakit kanker. 

Belum hilang ini semua campur aduk perasaan, aku sudah harus memulai terapi. Dokter berkata, “kita nggak bisa buang waktu sebab kanker ibu sangat ganas”. Dokter melanjutkan, untungnya dengan kemoterapi “tingkat kesembuhan” menurut data statistik di atas  50%. Tanggal 21 Januari 2014 aku mulai dengan kemoterapi. Rambut rontok habis, untungnya alis masih ada. Punya rambut palsu (wig), tapi akhirnya aku nggak pakai. Panas dan gatal, ditambah perasaan nggak pede, takut kalau-kalau wig itu miring di kepala. Nggak lucu kan!Terapi “babak pertama” ini makan waktu 6 bulan. Terapi berhasil, benjolan di payudara hilang tak berbekas. Aku cuti sakit 8 bulan. Untungnya negara Jerman adalah negara dengan jaminan sosial tinggi. September 2014 aku mulai masuk kerja lagi. Beberapa bulan semuanya berjalan lancar. Sampai dengan bulan Februari 2015, aku mulai mendapat masalah dengan kaki kananku. Semakin hari semakin sulit digerakan. Fisioterapi tidak ada hasilnya. Akhirnya bulan Maret 2015 aku masuk rumah sakit lagi. Seluruh badan dicek. Hasilnya: penyakit aku datang lagi. Kali ini sel2 limfoma bersarang di sistem saraf dan menyebabkan kelumpuhan di kaki kanan.Dokter memutuskan untuk memberikan aku “stem cell transplantasi”. 

Sehabis Paskah 2015, aku mulai menjalankan terapi dan sekali lagi harus cuti sakit panjang.  Terapi sangat berat melalui tiga tahap kemoterapi. Sehabis transplantasi sistem kekebalan tubuh aku sangat rendah. Banyak larangan, banyak aturan yang aku jalani. Kali ini terapi sekali lagi berhasil dengan baik. Sistem saraf aku bersih kembali dan kaki kanan yang tadinya lumpuh bisa digerakan kembali. Di tahun 2015 ini pertama kali aku bertemu Romo Ino dan Romo Yulius yang mengunjungi aku di rumah sakit setelah aku menjalani transplantasi. 

Tahun 2015 datang lagi cobaan berat. Bulan Oktober 2015 suami aku mendapat diagnosa: ALS – Amyotrophic Lateral Sclerosis. Penyakit “motor neuron” yang tidak bisa disembuhkan. Pasien sedikit demi sedikit lumpuh sehingga akhirnya meninggal. Kami pergi ke beberapa klinik neurologi, bertemu dengan beberapa professor, tapi semua mengatakan “not curable”. Di mulailah perjalanan yang menyakitkan dan sangat menyedihkan dengan suamiku. Aku yang juga berstatus pasien, harus mengurus suami yang juga sakit keras. Untungnya ada crew perawat yang membantu aku merawat suami. Bulan Juni  2016 setelah cek-up rutin, penyakit aku datang lagi. Kali ini sel-sel limfoma bersarang (lagi) di sistem saraf dan di tulang belakang bagian bawah. Dokter menganjurkan untuk menjalankan stem cell transplantasi, tetapi menggunakan sel2 dari donor (allogeneic stem cell transplantasi). Saran profesor kontan aku tolak. Aku tidak mau menjalankan terapi ini, aku merasa tidak akan mungkin bisa melewati terapi ini. Aku masih ingat kata-kata Profesor: "kalau Anda menolak terapi ini, kemungkinan hidup Anda cuma  6-8 bulan". Aku bilang lebih baik hidup hanya 6 bulan daripada “mati nggak, hidup nggak” berbulan-bulan kalau terjadi komplikasi dari transplantasi. Aku minta dokter-dokter untuk memberikan aku regimen kemoterapi lain. Sekali lagi terapi berhasil. Sistem saraf aku kembali bersih dan bayangan di tulang belakang mengecil. 

Keadaan suami semakin memburuk dalam waktu yang sangat singkat. Maret 2017 dia  mengalami lumpuh total dan 24 jam perlu bantuan karena tidak bisa berjalan sendiri lagi. Tanggal 23 Juni 2017 dia meninggal dunia. Sehari setelah seremoni pembagian ijazah anak kami lulus SMA. Aku percaya, dia menunggu sampai seremoni tersebut. Menunggu dan melihat anaknya lulus SMA. Ada tujuan yang dia ingin capai sebelum menyerah kepada kematian. Masih dalam suasana duka ditambah urusan tetek bengek surat-surat: pengadilan, bank, pajak, dll, setelah aku menjalan cek up rutin, bulan Agustus 2017 limfoma aku datang lagi. Kali ini kanker bersarang di anak ginjal kanan. Sekali lagi harus terapi, tetapi kali ini tanpa kemoterapi. Radiasi terapi 20x. Hasilnya sangat mengejutkan! Ukuran di anak ginjal sangat mengecil. 

Radiasi terapi telah berhasil! Empat kali berjuang melawan kanker limfoma. Akhirnya sejak tahun 2018 aku dinyatakan “in remission”, artinya: tidak ditemukan kanker di tubuh. Tetapi karena aku telah mengalami dua kali adanya sel kanker di sistem saraf, dokter memutuskan untuk memberikan aku satu kemoterapi. “Maintenance therapy”, untuk mengurangi kemungkinan kanker kembali lagi di sistem saraf. Aku menjalankan “maintenance therapy” setiap dua bulan sekali. Dari tahun 2018 sampai 2019. Di tahun 2019 aku dapat dua kali infeksi berat setelah kemoterapi. Dokter memutuskan untuk menyetop “maintenance” kemoterapi. 

Sejak Oktober 2019 aku bebas dari kemoterapi, tetapi masih harus menjalankan rutin cek up. Sampai hari ini aku baik-baik, merasa sehat dan bisa beraktivitas tanpa masalah. Semua ini hanyalah kasih karunia Tuhan. Aku masih bisa hidup sampai detik, itu juga kuasa Tuhan.Di dalam hidup kita harus punya iman (Glauben). Kalau hidup kita baik dan lancar, jangan lupakan iman kita. Kalau kita jatuh sakit, tertimpa kesusahan  jangan kehilangan iman sebagai pegangan hidup kita. Dokter, obat-obatan bisa membantu kita jadi sehat kembali. Tapi hendaknya kita tidak hanya bergantung ke dunia kedokteran. Aku berkata kepada dokter-dokter yang menanganiku: kita berusaha (aku dan tim medis), Tuhan yang menentukan segalanya. 

Dapat vonis kanker sangat mengerikan. Tapi jangan bertanya: kenapa aku kena penyakit ini? Kenapa aku, padahal aku sehat. Kenapa aku? Kita tidak akan mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan kita. Langkah pertama yang kita harus lakukan adalah menerima keadaan. Kalau kita melawan kenyataan, terus merasa marah, sedih...itu akan menambah beban buat tubuh kita. Padahal kita harus mempersiapkan tubuh untuk menerima terapi yang mungkin sangat panjang di depan kita. 

Pandangan hidupku juga berubah setelah aku sakit. Aku hidup hari ini dan di sini (heute und hier). Fokus hidupku hanya untuk hari ini. Aku  bersyukur, menikmati hidup dengan apapun yang aku dapat, aku berpikir positif dalam  apapun yang aku hadapi.  Buang (Loslassen) perasaan2 negatif: takut,  kuatir, marah, kesal, tidak puas, penyesalan-penyesalan dari masa lalu yang jelek, dll. Aku berdamai dengan hati dan pikiran. Dengan kedamaian di hati dan pikiran, aku bisa melewati hari2 aku. Hari esok dan masa depan (die Zukunft)adalah misteri. Bukan aku yang menentukan apa yang akan terjadi besok. Aku serahkan hidup ini ke dalam tangan Tuhan. Tuhan yang menentukan jalan hidup aku dan aku mencoba melewati hari-hari yang masih dikasih dengan sebaik-baiknya. Aku gunakan ekstra waktu yang ada.    

* Berikan komentar positif Anda pada kolom komentar di bawah ini! Jika Anda memiliki pengalaman yang sama atau pernah mengalami pergulatan sembuh dari Kanker dan mau membagikan kisah dan pergulatan Anda, silahkan menuliskan pengalaman itu dan bisa dikirim kepada kami: Redaksi suarakeheningan.org melalui email: inokarmel2017@gmail.com

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.