2 min dibaca
13 Mar
13Mar
Suara Keheningan | RP. Yancen Wulo, O.Carm

Dia menggenggam tanganku dengan erat tanpa ingin melepaskannya begitu cepat. Beberapa saat kami diam sambil menunggu siapa yang memulai percakapan itu. Sambil mengangkat mukanya, ia menatapku dengan mata yang berkaca-kaca, ia berucap, “Adakah orang di dunia ini yang hidup miskin seperti diriku? Bagiku pertanyaan ini bukan tanpa makna. Tidak terbayang sebelumnya akan muncul pertanyaan ini karena itu jawaban pun tidak keluar dari mulutku.

Lanjutnya, saya tidak memiliki apapun karena hidupku sebatang kara. Saya telah kehilangan suami dua puluhan tahun silam dan anak-anakku pergi ke tempat perantauan. Bertahun-tahun saya tinggal sendirian, hidup apa adanya dengan sebuah rumah reot di tengah kebun yang jauh dari perkampungan warga. 

Tubuhku makin hari makin lemah termakan usia. Tidak ada yang menemaniku di hari tua ini. Anak-anakku terkadang datang untuk beberapa saat dan pergi untuk mengurus keluarganya. Beberapa kali saya mendengar mereka mengomel tentang tubuhku yang kotor dan bau, rumah yang kotor dan berantakkan. Mereka selalu tidak bertahan lama tinggal denganku. 

Tanganku yang digenggam belum dilepaskannya. Lagi ia berkata, apakah saya adalah satu-satunya orang tua yang mengalami nasib ini? Masih pantaskah saya hidup dalam kemiskinan ini? Karena melihatku yang tersenyum, ia memelukku dan berkata, terima kasih sudah mendengarkanku dan tersenyum karena dengan demikian saya meyakini bahwa ada harapan dan syukur dibalik perjumpaan ini.

Tanpa mengucapkan sepatah katapun, saya melihat ke wajah ibu tua itu. Mukanya ceriah, penuh semangat tanpa sedikitpun ia memperlihatkan wajah letih dan putus asa. Tubuhnya tua namun semangat hidupnya begitu tinggi. Ia tak peduli apapun yang terjadi dalam hidup ini, selagi Tuhan memberi kekuatan dalam pengharapan.

Saya kagum Ketika memandang sekeliling rumahnya tumbuh sejumlah jenis tanaman yang hijau dan yang sedang berbuah. Beberapa unggas peliharaannya berkeliaran di sekitar pekarangan rumah menambah keindahan mata sembari menyakinkanku bahwa semuanya adalah hasil kerjanya. 

Karena kenyakinan itulah, sayapun membuka komunikasi dengan orang tua ini. Dengan keberanian saya pun bertanya, bagaimana menanam jagung, cabai, padi dan merawatnya agar memperoleh hasil yang memuaskan.  Ia menjelaskan begitu sederhana tanpa sebuah teori tinggi dan peralatan modern yang biasanya dipakai oleh kebanyakan orang. 

Bagiku yang penting ada bibit, tanah yang subur. Tetapi lanjutnya, hal yang paling penting adalah kemauan dan semangat berjuang tanpa mengeluh. Saya selalu bersyukur dengan apapun yang Tuhan berikan kepada saya. Kesehatan, makan secukupnya, tanaman yang segar dan bebas dari hama penyakit dan kehadiran orang-orang yang mencintaiku apa adanya. Semuanya ini sudah cukup bagiku karena Tuhan amat mengasihiku. Patutlah saya bersyukur.

Begitu terharu dan tertegun mendengar semua jawabannya, Adakah orang yang selalu menganggap dirinya miskin tetapi hatinya begitu kaya akan rasa syukur? Di mata dunia ia bisa saja tidak dianggap karena tidak memiliki apa-apa tetapi siapa sangkah hatinya begitu kaya dan mulia menerima apapun yang terjadi dan selalu merasa cukup untuk segalanya.

Orang tua ini kelihatan begitu kuat berjuang tanpa tahu sampai kapan akhir dari semuanya itu. Pemikirannya terlalu sederhana dalam memaknai hidup. Berulang kali ia hanya berkata, “saya bekerja sejauh kuat dan menikmati hasil keringatku tanpa mengeluh dan tanpa harus meminta kepada siapapun”. Yang penting saya bisa makan, sehat, baik dengan sesama dan alam sudah membuatku bahagia.

Ketika hendak pamit, dia memberiku satu buah durian yang harum mewangi seharum kasih yang telah ia ajarkan padaku. Terimalah ini sebagai tanda kasih dan sebarkanlah harumnya rasa syukur pada dunia setelah engkau menikmatinya terlebih dahulu. Dengan rasa gembira, saya pun berkata: terimakasih untuk arti perjumpaan ini. Saya akan selalu mengingat dan mengasihimu dalam setiap doaku.

Terlalu singkat perjumpaan kami tetapi rasanya begitu dalam sehingga inginnya jangan cepat berlalu. Waktu mengantar kami untuk cepat berpisah dan kembali memaknai arti percakapan itu. Saya sadar hidupku jauh dari kebahagiaan. Rasanya terlalu banyak waktu yang berlalu pergi tanpa rasa syukur. 

Ingin kembali ku kejar masa laluku namun telah lenyap jauh di belakangku. Tak akan mungkin masa lalu terulang dan datang kembali dengan keinginanku saat ini. Terimakasih untuk waktu ini karena engkau membuatku semakin bijak di masa depan.

Di tempat itu, kami telah menciptakan kenangan yang bagimu terlalu sederhana namun tidak demikian bagiku. Engkau yang pernah kutemukan dari sekian banyak orang, tak akan mati kebijaksanaan sekalipun pada waktunya kita berpisah selamanya. Aku ingin bersyukur karena Dia memberiku waktu sejenak bersamamu untuk belajar selama nafas itu masih milikku.

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.