Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Banyak agama mengajarkan pengorbanan. Ada pengorbanan dengan motivasi dan tujuan yang baik dan benar. Ada pula yang dilakukan berdasarkan pertimbangan buta dan tidak masuk akal.
Pengorbanan jenis yang pertama lahir dari ajaran kasih, respek dan toleransi. Ketiganya sulit diwujudkan dalam agama yang menekankan eksklusivitas dan anti perbedaan.
Sejarah menunjukkan bahwa iman yang benar tersebar antara lain karena perjuangan penganutnya. Namun, ada yang menyebarkan agama dengan mengancam atau menakuti-nakuti orang lain yang tidak seiman. Bahkan dengan membunuh mereka yang dianggap kafir.
Makin banyak korbannya, makin baik perjuangannya. Demikian keyakinan mereka. Perjuangan seperti itu justru menimbulkan sikap antipati terhadap agama.
Berbeda dari itu yang dilakukan oleh para martir seperti Karolus Lwanga dan kawan-kawannya. Mereka mati pada tanggal 3 Juni 1886 di Uganda sebagai konsekuensi atas imannya. Mereka mati; berkorban dengan alasan dan tujuan yang benar.
Mereka wafat untuk menyalakan iman dan harapan. Mereka mengorbankan diri untuk mendatangkan kebaikan dan keselamatan bagi orang lain; bukan membunuh orang lain. Kematiannya bukan akhir, tetapi permulaan. Para martir itu menjadi benih iman sehingga kematiannya melipatgandakan iman, kasih, dan pengharapan.
Manusia zaman modern pun membutuhkan martir. Tidak harus mati, tetapi dengan sukarela mengorbankan diri demi kesejahteraan sesamanya. Itu tampak dalam orangtua yang berkorban demi keselamatan anak-anaknya; guru yang bekerja keras demi masa depan muridnya; pejabat publik yang mengabdikan diri, waktu, dan tenaga bagi rakyat yang dilayaninya.
Layak disyukuri, bahwa zaman yang individualistis dan materialistis ini masih memiliki pejuang-pejuang kasih dan pengorbanan. Kita dukung yang masih sedang berjuang. Kita doakan mereka yang sudah wafat. Yang tertumpah dalam pengorbanan sejati selalu bernilai amat tinggi.
Salam dan Tuhan memberkati.
SOHK, Minggu 3 Juni, 2023AlherwantaRenalam 154 /23