1 min dibaca
15 Apr
15Apr
Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm

Ibu itu mengisak dalam tangis. Rangkaian deritanya tak kunjung habis. Ketiga anaknya menimpakan masalah bertubi-tubi. Yang pertama ditangkap polisi karena narkoba. Anak kedua sering berkelahi dengan anak tetangga. Yang terakhir suka mencuri.

Berkat ketekunan mendampingi dengan penuh cinta, ketiga anaknya terlepas dari hidup yang sia-sia. Mereka sudah berhasil melewati masa sulit. Kini jadi orang sukses. Sungguh, derita ibunya tak sia-sia.

Penderitaan kerap tak terhindarkan. Bahkan amat diperlukan. Kekuatan batin diberikan agar manusia sanggup menghadapi derita untuk kemudian hidup bahagia.

Namun ada dua kesulitan yang tak mungkin manusia sendiri selesaikan. Dosa dan kematian. Keduanya selalu mengintip manusia. Tak mungkin mereka bebas darinya. Menghadapinya sebagian orang putus asa.

Hanya berkat pertolongan Tuhan mereka terbebas dari keduanya. Untuk itu Tuhan mesti menanggungnya. Derita terberat membuat Allah turun menjadi manusia; turut merasakan kelemahan manusia (bdk Ibr 4: 14-16; 5: 7-9).

Langkah itu mendatangkan penderitaan amat berat. Hamba Yahwe mesti mengalami derita dan siksaan amat berat sampai manusia tidak lagi melihat martabatnya sebagai manusia (bdk Yes 52: 13- 53: 12). Ngeri. Inilah konsekuensi dari solidaritas ilahi.

Masih lebih dalam dan serius. Dia harus disalibkan, hingga nyawa-Nya putus. Maut sebagai akibat dosa mesti ditebus lewat jalan paling terjal; ajal.

Namun derita dan wafat-Nya tidak sia-sia. Dari sana mengalir keselamatan umat manusia. Demikianlah orang diajak menyatukan derita dan kesulitannya dengan derita dan kematian-Nya.
Sengsara-Nya tidak hanya membawa nikmat. Tetapi benar-benar sengsara membawa selamat.

Jumat Agung, 15 April 2022RP Albertus Magnus Herwanta, O. Carm.

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.