1 min dibaca
18 Jan
18Jan
Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm

Pertanyaan di atas tampaknya tidak perlu diajukan. Mungkin hanya orang bodoh yang melontarkannya. Sekilas tampak demikian. Tetapi, keliru orang menjawabnya bisa celaka hidupnya.

Mana yang benar, makan untuk hidup atau hidup untuk makan? Baik sekali direnungkan jawabannya.

Apa yang dimakan dan bagaimana cara orang makan menegaskan kepribadian dan budaya dari yang bersangkutan. Mengapa ada yang menggunakan sendok dan garpu untuk mengambil makanan dari piringnya, sementara yang lain menggunakan kelima jari telanjangnya? Makan itu cermin kebudayaan dan peradaban.

Di rumah makan "All you can eat" ada yang suka mengambil makanan sebanyak-banyaknya tanpa menghabiskannya, karena merasa sudah membayar. Sementara yang lain berhenti makan sebelum kenyang.

Berapa orang mengetahui bahwa berpuasa alias tidak makan itu baik untuk kesehatan? Leluhur kita berpuasa, karena memahami makna dan manfaatnya untuk kualitas hidup, baik jasmani maupun rohani.

Namun, ada yang berpuasa hanya karena hal itu diperintahkan oleh agama. Di sana berpuasa berpotensi kehilangan makna spiritual dan kebijaksanaannya. Berpuasa tidak membuat manusia lebih manusiawi. Kadang membuat orang munafik yang "mengesahkan" kebencian dan kemarahan.

Makan itu memiliki nilai yang amat tinggi dan mendalam. Manusia membutuhkan makanan jasmani dan rohani. Keduanya perlu dipenuhi secara seimbang agar hidupnya sehat dan utuh.

Pembangunan ekonomi yang antara lain untuk memenuhi kebutuhan dasar (makan minum) perlu disertai dengan pembangunan mental dan kerohanian. Ternyata, makan itu bisa menjadi jalan sarana dan kesempatan untuk tumbuh menjadi manusia yang penuh dan utuh. Itulah sebagian dari alasan mengapa orang makan.

Salam dan Tuhan memberkati.
SOHK, Selasa 17 Januari 2023AlherwantaRenalam 017/23

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.