1 min dibaca
03 Apr
03Apr
Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm

Hukum itu bentuk jamak dari kata ahkam (bhs Arab). Di dalamnya termaktub makna  arbitrasi, penghakiman, otoritas dan kehendak Allah. Yang terakhir ini paling penting.

Keempat hal itu perlu dipahami, karena masyarakat memerlukan hukum. Tanpa hukum masyarakat akan kacau, terpecah dan bisa hancur. Hidup tidak dihargai.

Dalam menerapkan hukum orang perlu waspada dan bijaksana. Hukum itu bisa menyelamatkan; bisa pula membinasakan.Bukankah ada yang atas nama hukum menyiksa atau membunuh orang lain?

Orang yang arif bijaksana dan berpegang pada kehendak Allah yang sebenarnya layak mengambil keputusan hukum (menjatuhkan hukuman). Mereka yang berkepentingan diri sebaiknya tidak menentukan hukum.

Orang-orang Farisi yang membawa ke hadapan Sang Guru Kehidupan seorang perempuan yang kedapatan berbuah zinah hanya satu contoh (Yoh 8: 1-11). Mereka meminta Dia memutuskan hukuman tidak untuk menegakkan keadilan, tetapi untuk menjebak-Nya. Ada motivasi tidak murni.

Lagipula mereka ingin menerapkan hukum rajam hanya demi memenuhi hukum yang kaku; tanpa belaskasihan (Yoh 8: 5). Sikap demikian jauh dari kebenaran dan berbahaya bagi korban. Tidak sesuai dengan kehendak Allah.

Ketika didesak Sang Guru berkata, "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." (Yoh 8: 7).

Mendengar itu mereka pergi satu per satu mulai dari yang tertua (Yoh 8: 9). Jawaban itu membuat mereka melihat diri mereka sendiri sebagai pendosa yang membutuhkan kasih dan pengampunan dari Allah. Mereka sendiri berdosa, layakkah menjatuhkan hukuman?

Sang Guru pun tidak menghukum perempuan itu, karena Dia berpegang pada kehendak Allah yang mengampuni dan menyelamatkan. Sikap itu menampilkan cinta dan belas kasihan Allah; dua mata pisau hukum.

Minggu Prapaskah V, 3 April 2022RP Albertus Magnus Herwanta, O. Carm.

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.