4 min dibaca
Penulis Itu Bebas Gender dan Rahasia Kecil Kepuasan Batinnya

Suara Keheningan | Inosensius I. Sigaze

"Menulis tentang tema yang sulit ternyata punya kepuasan batin yang lebih. Jadilah penulis bebas gender."

Baca Artikel aslinya di sini: Penulis Itu Bebas Gender dan Rahasia Kecil Kepuasan Batinnya Halaman 1 - Kompasiana.com 

Sorotan tema Kompasiana kali ini benar-benar menantang. Bagaimana nggak? Tema yang sangat spesifik terkait kehidupan perempuan - "Seluk beluk menstruasi." Pertama membaca tema itu, langsung tidak berdaya. Gimana nulisnya ya rasanya terlalu sedikit pengetahuan tentang dunia itu. 

Cuma ingat penjelasan ibu guru waktu SMP dulu.Rasa hati juga penuh pergulatan karena berhadapan dengan pertanyaan bagaimana saya bisa nulis tema itu? Berangkat dari pertanyaan itu, saya sebenarnya berterima kasih kepada Kompasiana karena telah membuka kemungkinan menjernihkan perspektif tentang menjadi seorang penulis.

Seorang penulis itu harus bebas gender dong

Penulis bebas Gender dimengerti dalam arti bahwa seorang penulis bisa menulis tentang apa saja, entah itu tentang laki-laki, atau tentang perempuan. Bahkan di Eropa sudah diakui identitas ketiga yaitu divers.Seorang penulis tidak terikat oleh apapun dan apapun adalah kenyataan yang bisa ditulis. 

Pikiran inilah yang memberanikan saya coba menulis tema sorotan Kompasiana kali ini.Nah, dari pikiran itu, saya menjadi sadar bahwa menulis di Kompasiana akhirnya sudah sangat menolong membuka perspektif dan cara berpikir menjadi lebih realistis dan terbuka. 

Oleh karena itu, saya sangat kagum dengan beberapa penulis Kompasiana yang pria khususnya langsung dengan cepat menulis tema tentang "seluk beluk menstruasi" itu. Bagi saya itu teladan (Vorbild) tentang seorang penulis yang realistis dan berpikir jernih.

Kebebasan menulis bagi seorang penulis

Kebebasan seorang penulis untuk menulis semestinya tidak dibatasi oleh apapun, ya dia bisa menulis tentang apa saja. Karena itu, seorang penulis tidak seharusnya fokus pada bidang yang menjadi kesukaannya.

Memang sih, menulis terkait tema yang kita suka akan menjadi lebih mudah, daripada menulis tema lain yang tidak disukai, tambah lagi terlalu sedikit tahu tentang hal itu sendiri.

Meskipun demikian, saya juga sadar bahwa dalam menulis orang bisa saja menyoroti satu dua aspek saja yang memang diketahuinya dan berusaha  memperdalam itu. Nah, makna kebebasan seorang penulis dalam menulis tidak terikat pada apa kata orang seperti, "kok cuma seperti itu sih."

Justru perlu dilihat sebaliknya, bukan saja soal keterbatasan informasi di dalamnya, tetapi kemauannya untuk tetap menulis dengan bebas, bagi saya itu sangat penting.Beberapa penulis kompasiana yang menulis setiap hari itu patut diapresiasi.  

Mereka bahkan tidak pandang tema apa, semua bisa ditulisnya. Ya, menulis apa saja dengan bebas.Kebebasan menulis akhirnya dimengerti sebagai cara orang mengungkapkan dirinya dalam hubungan dengan sesuatu yang asing atau di luar dirinya. 

Di sana ada pendapat, ada perspektif, ada motivasi, ada solusi, ada percikan gagasan lain, pikiran yang mengkritisi dan lain sebagainya.

Menulis tentang tema yang tidak disukai

Ada seorang teman saya orang Jerman setelah mendengar cerita saya tentang tema, "Seluk beluk menstruasi," tanya dia spontan, "kamu bisa nulis tentang itu?"

Saya akhirnya ditantang untuk menulis tentang tema yang sulit dan tema yang tidak disukai. Tulisan ini adalah percobaan pertama. Pada percobaan pertama ini saya menyadari bahwa ternyata menulis tentang tema yang sulit sangat menarik. 

Mengapa menulis tema yang sulit itu justru menarik?

1. Tema baru menantang pikiran baru

Sebelumnya saya tidak pernah berpikir bagaimana menjadi penulis itu harus bebas gender. Baru sadar kalau mau menjadi seorang penulis harus bisa menulis apa saja dan tentang semua. Tantangan yang sedang dihadapi itulah yang mestinya dituangkan dalam tulisan. 

Ya, pergulatan pikiran dan hati terkait tema itu yang mesti ditulis. Menjadi begitu sulit kalau orang sudah berpikir bahwa apa yang dipikirkannya tidak pantas untuk dibagikan kepada orang lain, bahkan apa yang sedang dihadapinya dianggapnya "ah bukanlah hal yang penting."

Artinya cara pandang negatif tentang diri sendiri juga menjadi sebab mengapa orang sulit sekali menulis tema yang bukan tema kesukaannya. Ini bukan soal seberapa besar orang fokus pada bidangnya saja, tetapi bagaimana sebutan seorang penulis selalu lebih dahulu dari sebutan bidang ahlinya.

2. Yang sulit itu akan menyedot konsentrasi yang tinggi

Hubungan tentang tema yang sulit itu memang sangat pribadi. Tema yang saya anggap sulit, belum tentu dianggap sulit oleh orang lain, bahkan bisa jadi sebaliknya, dianggap sangat menarik dan mudah baginya.

Pengalaman pribadi tentunya mengatakan hal ini, bahwa menulis tema yang dianggap sulit itu akan menyedot konsentrasi yang tinggi. Hal ini akan berdampak bahwa tulisan itu tidak akan mengalir begitu saja.

Orang mesti mikir kembali, jangan-jangan belum pas atau belum terlalu bagus formulasi dan lain sebagainya. Nah, bisa saja dari cara ini akan menghasilkan satu tulisan yang padat dan berisi, ketimbang karena menguasai tema, lalu akhirnya mengalir begitu saja, tanpa banyak memerhatikan isi dan pesannya.

Oleh karena itu, hal yang penting dilakukan adalah mengambil waktu untuk pause sejenak, lalu berusaha membaca kembali dengan tenang dari awal sampai akhir.

Jadi menyedot konsentrasi yang tinggi itu bukan negatif lho, tapi justru positif untuk meningkatkan kesadaran yang maksimal pada waktu menulis. Tentu, pengalaman para penulis berbeda-beda sih.

3. Kepuasan batin yang baru

Kepuasan batin yang diperoleh secara langsung saat menulis tema-tema yang dianggap sulit adalah saat tulisan itu akhirnya bisa diselesaikan dan tidak dihapus atau dibuang. Nah, ini pengalaman pribadi juga, beberapa judul dan barisan kalimat sudah bertengger pada kolom draft, namun akhirnya nggak bisa dilanjutkan, lalu dihapus.

Betapa puas batin ini jika toh tema yang sulit itu akhirnya bisa diselesaikan. Kepuasan batin seorang penulis diperoleh bukan saja semata-mata karena apresiasi dari sesama penulis, tetapi bahwa bahwa ia sudah melalui pergulatan sulit dan melampaui itu sendiri.

Pertanyaan sederhana: Pernah nggak teman-teman mengalami hal seperti itu? Mengapa ada kepuasan batin? Saya kira kepuasan batin itu berada pada dimensi yang sangat pribadi.

Hanya orang yang benar-benar mengalami bagaimana berjuang untuk menulis dengan sungguh-sungguh akan merasakan kepuasan batin terkait apa yang sudah ditulisnya.

Ya, akan lebih indah dan membahagiakan lagi kalau tulisan yang ditulis dengan susah payah, penuh perjuangan itu akhirnya dibaca teman-teman lain. Senang juga kan?

Nah, perasaan-perasaan seperti itu rupanya sangat manusiawi dan saya percaya setiap penulis punya ukuran kepuasan batinnya masing-masing. Ada yang puas kalau artikelnya selesai ditulis lalu bisa diposting. 

Ada yang puas kalau artikelnya bisa mencapai nilai tertinggi, ada yang puas kalau masuk kategori populer, headline dan lain sebagainya.Kepuasan batin itu penting, sebab tanpa kepuasan batin orang tidak akan menikmati apa yang baik dari menulis itu sendiri.  

Menulis itu ternyata nikmat lho.

Demikian percikan catatan kecil pergulatan pribadi yang berawal dari kesulitan menulis tema "seluk beluk menstruasi" sampai pada gagasan penulis itu bebas gender dan bisa menemukan kepuasan batin saat menulis tema-tema yang sulit. Kenikmatan yang ekstra ada di sana, karena ada tantangan baru dan telah melampaui saat krisis takut menulis tema-tema yang sulit.

Salam berbagi, ino, 14.12.2021.

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.