Suara Keheningan | RP. Stef Buyung Florianus, O.Carm
Di tengah masyarakat yang begitu menonjolkan perbedaan, cinta kasih tanpa sekat harus kita usahakan. Di saat issue SARA ditampilkan, pelayanan bagi sesama tanpa pandang bulu semestinya kita hayati. Ada satu dua pokok pikiran yang dapat kita renungkan:
Pertama: Bersumber dari kasih Allah yang tanpa sekat. Sebagai murid Yesus, hidup dan pelayanan kita itu bersumber dari kasih Allah sendiri. Dan sesungguhnya kasih Allah itu tanpa sekat; cinta-Nya itu tanpa batas.
Ia menerbitkan matahari, baik bagi orang jahat maupun orang saleh. Ia juga menurunkan hujan bagi orang benar dan orang yang tidak benar. Itulah sebabnya, Yesus meminta kita untuk menjadi sempurna di dalam kasih sebagaimana Bapa di surga (bdk. Mat 5:45.48). Yesus sendiri menampilkan wajah Bapa.
Ia mencintai semua orang tanpa sekat. Pelayanan-Nya didorong oleh cinta yang mendalam. Hati-Nya selalu tergerak oleh belas kasihan (bdk. Mat 9:36; 14:14; 15:32; 20:34; Mrk 1:41; 6:34; 8:2; Luk 7:13). Konsili Vatikan dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja mengatakan bahwa keselamatan dan penebusan kita bersumber dari kasih dan kebaikan Bapa, yang dilaksanakan dalam ketaatan sempurna oleh Yesus Kristus Putra-Nya.
“Maka datanglah Putera. Ia diutus oleh Bapa, yang sebelum dunia terjadi telah memilih kita dalam Dia, dan menentukan, bahwa kita akan diangkat menjadi putera-putera-Nya…. Demikianlah untuk memenuhi kehendak Bapa Kristus memulai kerajaan sorga di dunia, dan mewahyukan rahasia-Nya kepada kita, serta dengan ketaatan-Nya Ia melaksanakan penebusan kita.” (LG 3).
Selanjutnya, dalam Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja, para bapa Konsili menegaskan, “Adapun rencana itu bersumber pada ‘cinta’ atau ‘kasih asali’ Allah Bapa…. Karena kemurahan-Nya yang melimpah dan berbelas kasihan Bapa dengan bebas menciptakan kita serta penuh kasih memanggil kita, untuk bersama dengan-Nya ikut menikmati kehidupan dan kemuliaan-Nya.” (AG 2).
Paus Fransiskus dalam Seruan Apostolik Sukacita Injil menegaskan, “Setiap makhluk hidup adalah objek kelembutan Allah yang tak terbatas, dan Dia sendiri hadir dalam hidupnya. Yesus menumpahkan darah-Nya yang berharga di kayu salib untuk orang tersebut.” (EG 274).
Kedua: Bermuara pada cinta kepada sesama tanpa batas. Hidup kita yang bersumber dari kasih Allah yang tanpa sekat hendaknya mengantar kita kepada cinta kepada orang lain tanpa batas. Sebagaimana Bapa di surga dan Yesus sang Putra, kasih kita pun harus tanpa sekat.
Apakah itu mungkin? Iya, mungkin. Karena kita diciptakan sesuai dengan citra wajah Allah sendiri. Paus Benediktus dalam ensiklik "Allah adalah Kasih" mengatakan, “Kasih itu mungkin, dan kita bisa melaksanakannya, karena kita diciptakan menurut gambar Allah. Mewujudkan kasih dan dengan demikian memasukkan cahaya Allah ke dunia – untuk itulah kami mengundang Anda dengan ensiklik ini.” (DCE 39).
Pilihan hidup yang demikian sungguh dibutuhkan untuk melawan pilih kasih di dalam pelayanan. Cara bertindak yang seperti itu diperlukan untuk mengikis kecenderungan manusia yang memandang muka dalam kerasulan. Cinta tanpa sekat sungguh diperlukan.
Kalau tidak demikian, apa bedanya kita dengan orang yang tidak mengenal Allah? Yesus bersabda, “Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya daripada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian?” (Mat 5:46-47).
Terdorong oleh kasih, kita diutus untuk melayani siapa saja tanpa memandang bulu. Digerakkan oleh cinta, kita untuk memberikan diri sepenuhnya, tanpa mencari muka. Konsili Vatikan II dalam Dekrit tentang Kegiatan Misioner menegaskan, “Untuk melaksanakan kegiatan itulah para anggota Gereja didorong oleh cinta kasih. Dengan cinta itu, mereka mengasihi Allah, dan ingin berbagi kekayaan rohani sekarang maupun di masa mendatang dengan semua orang.” (AG 7).
Paus Fransiskus dalam Seruan Apostoliknya Sukacita Injil menggarisbawahi semangat yang sama. Ia mengatakan bahwasanya berbagi hidup dengan sesama dan memberi diri bagi orang lain harus dilandasi oleh keyakinan bahwa setiap orang pantas menerima pelayanan kita.
Setiap orang adalah karya tangan Allah, ciptaan-Nya. Dengan demikian, pelayanan kita itu tidak bergantung pada penampilan fisik, kemampuan, bahasa, cara berpikir atau karena kepuasan yang kita terima. Tuhan menciptakan manusia menurut citra-Nya (bdk. EG 274).
Kembali Paus Fransiskus menegaskan, “Seperti apa pun penampilannya, setiap orang sangat kudus dan layak kita kasihi dan layani.” (EG 274). Sebagai murid Yesus, kita dipanggil dan diutus untuk ambil bagian dalam pembangunan Kerajaan Allah.
Pelayanan kita harus bermutu dan menghasilkan buah. Hal itu hanya bisa terjadi kalau kita berinspirasi pada hidup Allah dan kembali kepada semangat Yesus sendiri. Kita juga semestinya menyadari bahwa masing-masing kita adalah citra wajah Allah.
Kasih kita harus tulus, tanpa sekat. Cinta kita harus mendalam, tanpa batas. Pelayanan yang kita lakukan harus ditujukan kepada semua. Atau dengan kata lain, banyak orang apa pun latar belakangnya merasakan sentuhan cinta dan kehadiran kita.
Sebagai manusia kita menyadari ketidakmampuan kita untuk melayani. Kita mengakui keterbatasan kita dalam mencintai sesama. Ketidakmampuan kita hanya bisa dimampukan oleh Allah sendiri. Keterbatasan kita hanya bisa diatasi oleh Yesus sendiri.
Dalam autobiografinya, St. Teresia dari Kanak-Kanak Yesus merasakan hal yang sama. Namun ia sadar bahwa Tuhan tidak memberikan sebuah tugas yang melampaui kemampuan manusiawinya. “Oh Tuhan, saya tahu bahwa Engkau tidak menugaskan sesuatu yang mustahil. Engkau mengenal kelemahanku dan ketidaksempurnaanku lebih dari saya sendiri.”
Itulah sebabnya, Teresia membiarkan Tuhan berkarya melalui dirinya. Dan hasilnya luar biasa. Teresia menulis, “Ya, saya merasakan itu, bahwa Yesus sendirilah yang melaksanakan itu dalam diri saya bila saya mencintai sesama. Semakin saya bersatu erat dengan Yesus, semakin mesra saya mencintai suster-susterku.”
Pelayanan itu bagian dari hidup kita sebagai pengikut Yesus. Hanya di dalam Yesus, pelayanan kita justru membawa orang lain kepada iman akan Dia. Hanya bersama Dia, cinta kita justru mengantar sesama untuk menemukan Allah. Itulah sebabnya, pelayanan kita harus bersumber dari relasi yang mendalam dengan Tuhan dalam DOA dan mengalir dari cinta kasih yang ikhlas kepada sesama. Dengan semangat itulah, kita akan MEMBANGUN CINTA TANPA SEKAT.