3 min dibaca
NARASI KASIH: ANTARA REVOLUSI MENTAL DAN REVOLUSI AKHLAK

Suara Keheningan | Inosensius I. Sigaze, O.Carm

Tahun 2020 rupanya tahun paling unik, tapi rasanya lebih menegangkan daripada hidup pada tahun 2000 ketika munculnya banyak peramal yang meramalkan tentang kiamatnya dunia ini. Semua ramalan tidak terjadi, bahkan kita hidup sampai tahun 2020. Dua puluh tahun berlalu, sekarang muncul ke permukaan media bukan lagi peramal, melainkan pencetus revolusi. Kita sebut pertama Bapak Presiden Joko Widodo menyebut gerakan revolusi mental. Kedua muncul orang seperti MRS dengan revolusi akhlaknya. Suara dan gema kedua revolusi ini jelas-jelas beda rasanya baik dari segi narasinya, maupun dari segi pendeklatornya. Jokowi berbicara revolusi mental berangkat dari konteks bangsa Indonesia. Sebuah konteks kehidupan yang dilematis ambivalent. Bagaimana tidak? Di mata dunia, Indonesia dikenal sebagai negara toleransi, namun kenyataannya tidak sedikit aksi intoleransi dalam tataran kehidupan beragama. Tidak hanya itu, Jokowi berbicara tentang revolusi mental berangkat dari konteks yang penuh ironi. Negara berkembang yang tidak sedikit penduduknya miskin, namun korupsi masih saja terjadi.

Indonesia adalah bangsa yang besar dan terkenal dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, yang mempersatukan bangsa ini hingga berusia tua. Sebuah bangsa yang terletak di wilayah Asia dengan beraneka suku, bahasa, agama, ras terbesar di dunia. Namun, tidak jarang badai perpecahan atas nama agama, narasi radikalis yang menghasut dan memprovokasi, hingga caci maki dan bulli selalu menjadi warna yang rajin tampil pada setiap media sosial dan online.

Revolusi mental mesti berangkat dari konteks bangsa yang kurang lebih seperti itu. Akan tetapi, tidak cukup berangkat dari konteks umum bangsa saja, revolusi mental mesti mulai dari diri sendiri. Refleksi dan narasi seperti ini, terlihat begitu jelas dalam diri Bapak Presiden Jokowi. Revolusi Mental berjalan di negeri ini tanpa darah dan kekerasan. Sebuah revolusi mental yang berjalan dengan narasi keramahtamahan, narasi kemajuan bangsa, narasi transparansi, narasi pembangunan Infrastruktur yang merata, narasi kesederhanaan cara birokrasi, narasi kecepatan menangkap peluang demi perubahan, narasi kedisiplinan dan anti korupsi.

Revolusi Ala Jokowi rupanya begitu mendarat hingga melahirkan rasa tidak nyaman dari pihak-pihak yang hidup dengan mentalitas konsumtif, radikalis, korup dan intolerasi, sogok sana dan sini. Tidak kalah menarik untuk ditulis, yakni drama revolusi akhlak MRS. MRS mengawali pementasan drama revolusi akhlaknya dengan bersemi di kota suci, meski banyak asumsi dan narasi tentang MRS melarikan diri dari kasus akhlak yang lahir di tanah air sendiri. Entahkah karena konteks pribadi itu, MRS berteriak tentang revolusi akhlak?

Kumandang revolusi akhlak terdengar menggema sekejap, namun gumam dan komentar rakyat Indonesia menjadikan akhlak pendeklator menjadi benar-benar di tantang. Nikita Mirzani, artist Indonesia pertama yang berani mengkritik gejolak revolusi pasca kepulangan MRS ke Indonesia. Pada cobaan pertama, terlihat jelas revolusi akhlak tumbangkan Pendeklatornya sendiri. MRS kehilangan cara bagaimana menjalankan roda revolusinya. Revolusi akhlak terlihat hanya sebuah topik guyonan netizen di aneka media. Kemarahan dan ancaman pendeklator semakin memuncak hingga tidak taat pada panggilan pihak keamanan negara. Kehilangan cara dan visi revolusi akhlak berujung tewasnya enam orang pengikut setianya. Bayaran revolusi akhlak tidak bisa tidak, akhirnya konyol di mata seluruh rakyat Indonesia. "Mungkin baik bukan revolusi akhlak tapi polusi akhlak" sebutan netizen bebas belakangan ini.

Sampai kapan gejolak pertentangan revolusi ini berakhir? Seribu revolusi pun tidak akan bisa mengubah Indonesia, jika pendeklatornya tidak merevolusi dirinya. Saya seorang rohaniwan Katolik yang pernah dididik di sekolah muslim selama tiga tahun mengalami suatu iklim persaudaraan yang luar biasa baik. Silaturahmi bukan lagi kata asing, karena kenyataannya bahwa kami saling kunjung mengunjungi baik dalam acara halal bihalal, maupun dalam acara Natal. Kami belajar saling memberi salam dengan hormat dan respek yang tulus. Bahkan sampai dengan saat ini, saya masih memiliki kontak yang baik dengan kepala sekolah saya di tahun 1997-1999, Bapak Jafar Haji Abdullah. Dari latar belakang itulah, maka saya tidak bisa percaya pada sebagian orang yang mengatakan atas nama Islam mencaci maki, mengancam dan memfitnah, dll.

Ketika saya melanjutkan studi di Jerman, saya sering sekali berdiskusi dengan seorang ahli islamologi tentang bagaimana nilai-nilai keramahtamahan dalam Islam itu sendiri. Karena itu, saya mengerti bahwa pemahaman tentang nilai-nilai keislaman yang benar selalu membuat mereka sendiri ramah dan semakin bertanggung jawab atas hidupnya dan hidup orang lain. Perjalanan sejarah telah membuktikan bahwa ada Khalifah yang berpihak pada orang miskin, sederhana meskipun tidak seagama dengannya, bisa menjadi referensi sejarah yang penting. Karena itu, sebetulnya jauh lebih penting menjadi santun dan ramah, daripada berbicara tentang revolusi akhlak tapi tidak bisa menjadi ramah.

Di tengah dua nama revolusi di tanah air ini, saya pikir baik jika kita coba belajar dari yang lain. Fratelli tutti, Persaudaraan Universal yang dikeluarkan sebagai dokumen ensiklik Paus Fransiskus barangkali bisa menjadi alternatif nilai yang bisa mengubah atmosfer kehidupan berbangsa dan bernegara. Dokumen Ensiklik dengan narasi kasih yang universal tanpa memandang wajah dan agama, suku, budaya dan ras itu dikeluarkan ketika dunia dilanda krisis covid-19. Semestinya dunia bersatu untuk mengatasi krisis ini, sekurang-kurangnya dengan narasi kasih. Krisis covid-19 adalah persoalan universal yang mesti ditangani secara bersama tanpa harus menuduh salah siapa. Menjadi ramah dan taat pada peraturan dan disiplin yang ada adalah juga bagian dari mentalitas yang kooperatif dengan pemerintah.

Narasi kasih ensiklik Fratelli tutti dengan terang merujuk kepada basis solidaritas yang mesti menjadi basis dari pilihan keberpihakan manusia. Paus Fransiskus mengajak semua orang tentunya agar pada saat ini, perlu memiliki perspektif baru, yakni suatu perspektif persaudaraan: Semua kita adalah saudara dan saudari.

Suatu pengalaman yang mengagumkan bahwa ketika perang saudara di Surya pecah pada tahun 2015, ada begitu banyak pengungsi yang berdatangan ke Jerman pada tahun-tahun itu dan sesudahnya. Sebagai komunitas biarawan Karmel di Jerman kami menerima dua orang anak dari Surya untuk tinggal bersama dengan kami. Keduanya muslim, tetapi kami tinggal serumah, makan semeja dari satu dapur. Bahkan segala kebutuhan mereka dipenuhi 100%. Kami melakukan demikian karena kami memiliki perspektif baru bahwa keduanya adalah saudara kami. Dua tahun mereka tinggal bersama sampai mereka bisa mandiri dan berbicara bahasa Jerman dengan baik.

Tidak ada yang istimewa selain narasi kasih dalam hidup sehari-hari itu yang mengubah mereka dari waktu ke waktu. Karena itu, bangsa Indonesia saat ini, semestinya perlu menyalakan narasi kasih itu untuk meredam amarah, kebencian dan radikalisme. Narasi kasih akan mengubah suasana hidup bangsa kita menjadi bangsa yang damai dan toleransi. Narasi kasih akan menjadikan bangsa ini bangsa yang besar dan dihormati dunia. Dunia akan menghormati negeri kita ini karena di sana ada renovasi hati yang mengubah mental dan akhlak dari diri sendiri.


Foto Ilustrasi | Narasi Kasih untuk renovasi hati

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.