2 min dibaca
KETIKA AWAN MEMELUK BUMI

Suara Keheningan | Agnes Ike Wicacsari

Merebahkan diri sejenak dalam pangkuan bumi sambil memandang langit yang berhiaskan awan putih memunculkan rasa kagum dan terpesona dalam diriku. Sekumpulan awan bergerak ringan ditiup sang angin. Disusul sekumpulan awan lagi dibelakang dan  di sampingnya. Bergerak teratur dalam tarian indah bersama sang angin yang setia menemani mereka. Kadang sekumpulan awan itu mengubah dirinya menjadi berbagai macam bentuk binatang, tumbuhan atau bentuk-bentuk indah yang mengusik pikiran untuk menamai bentuk itu. Awan bermain riang bersama sang angin memunculkan wajah penuh cinta padaku. 

Sembari menutup mata, imajinasiku melayang bersama sang angin memunculkan sebuah tanya, kenapa hanya angin yang menjadi sahabat setiamu duhai awan? Tak mungkinkah bumi yang menjadi pembaringanku ini menjadi sahabatmu juga? Dalam tanya yang butuh jawaban, tiba-tiba semilir angin berbisik di telingaku, ”sayang, bukan hanya aku yang menjadi sahabat si awan. Bukalah matamu dan lihatlah semesta ini dengan sungguh-sungguh. Aku, dirimu, dirinya, bumimu, air dan semestamu semua menyatu dalam persahabatan dengan si awan. Bangunlah, bangkitlah dan menarilah bersama kami dalam tarian suka cita ini”.     

Awan di wilayah pegunungan Yudea, Israel. Dok.suarakeheningan.org

Perlahan kuikuti bisikan lembut sang angin, pelan-pelan kubuka mataku, mencoba mengumpulkan seluruh kesadaran indrawi. Teringat satu firman yang pernah kubaca, ...”Sesudah Ia mengatakan demikian, terangkatlah Ia disaksikan oleh mereka, dan awan menutup-Nya dari pandangan mereka...”.  Wow awan...menutup tubuh Tuhanku ketika terangkat ke surga....menutup, menyelimuti, memeluk rapat tubuh Tuhanku. Awan...betapa beruntungnya engkau bisa memeluk tubuh Tuhanku dan mengiringi-Nya ke surga. Awan bersama sang angin mengiringi Tuhanku naik ke surga. Namun logika ini memunculkan sebuah bantahan, ” itu kan dulu...zaman Tuhan kita ada di bumi ini ”. Dan dimulailah lagi pertarungan antara logika dan hatiku, antara pikir dan rasaku. 

Semilir angin kembali berbisik lembut di telingaku,” sayang lepaskan semua pikiran dan logikamu saat ini. Biarkan rasa yang menuntunmu untuk menemukan Dia yang sejati dalam hidup ini. Meskipun Tuhanmu telah naik ke surga, Dia tak pernah meninggalkanmu sendirian. Dia mengutus Roh-Nya, dia memberikan wakil-Nya bagi kalian dan Dia juga memberikan awan yang sama buat kalian. Rasakan dan temukan rasa itu kembali. Ketika engkau berduka dan menangis, aku dan awan menemanimu dalam tangisan rintik-rintiknya, ketika engkau bahagia dan tertawa ceria, maka kami pun akan bersamamu dalam cerahnya wajah dan tarian kami. Temukan kembali rasamu pada kami. Kala mentari memunculkan sinarnya, lihatlah kami pun menyapamu dalam senyuman tercantik yang kami miliki. Bahkan si awan rela memandikan dirinya dalam sinar mentari untuk memberikan keindahan bagimu. Saat mentari kembali keperaduannya, awan penghantarnya dan sekali lagi memberi warna cantik dirinya agar matamu menyimpan semua keindahannya. Awan tak pernah meninggalkanmu meski gelap melanda duniamu. Bersama rembulan, awan hadir memberikan dirinya untuk menemanimu, menghalau ketakutan, kekhawatiran, resah dan gelisahmu “.     

Dalam diam, aku melakukan apa yang dikatakan sang angin. Kuletakkan semua pikiran dan logikaku, kuikuti rasa dalam jiwaku, kudengarkan suara cintanya yang berbisik lembut. Menenggelamkan diriku dalam samudera rasa sejati menemukan kasih Ilahi bersama kalian para utusan. Tanpa kusadari, perlahan awan turun mendekati bumi yang kupijak. Ada rasa sejuk merayap perlahan  melewati bumi yang kupijak merambat melalui ujung jari kakiku hingga menyelimuti seluruh tubuhku, menenangkan jiwaku dan membangkitkan semangatku. Bumi pun menyambut pelukan awan dengan kehangatan yang menembus hingga tulang sumsumku. Dua rasa dalam satu tubuhku yang mengusir semua gelap, takut, khawatir, resah dan gelisahku.      

Ketika awan memeluk bumi dengan aku dan angin di dalamnya, ada dua rasa yang luar biasa hadir dalam tubuh dan jiwaku. Membangkitkan semua rasa dan asaku. Membawaku kembali pada sebuah realita ada dia yang diutus oleh-Nya untuk selalu berada disisiku, menemani dan menguatkan aku. Menopang dan menghiburku, menggandeng dan menggendong, menguatkan rasa dan percayaku, bangkit dan melangkah pasti menggapai harapan yang tertunda.      

Awan pun berkata, “cintaku, rasakan semua cinta yang ada padaku. Biarkan cintaku menguasaimu dan membimbingmu. Cintaku dan cinta-Nya adalah satu dan sama. Dengan cinta itu pula, aku ingin membawamu ikut serta menikmatinya. Awanmu ini selalu melihat, menemani dan menjagamu meski tanpa kata. Cinta dan doa selalu hadir memanggil rasamu. Aku memelukmu bersama bumi yang kau pijak dalam cinta yang sama kepada Sang Ilahi”. Aku pun semakin erat memeluknya seraya berucap terima kasih untuk semua kesetiaan dan cintamu. Terima kasih untuk semua kasih sayangmu. Terima kasih untuk hadirmu. Ketika awan memeluk bumi, dua rasa menyatu dalam realita membangun asa berkembang bersama.

Bersama awan pada langit yang cerah di Kota Pendekar, akhir Maret 2021.

“Cintaku, rasakan semua cinta yang ada padaku. Biarkan cintaku menguasaimu dan membimbingmu. Cintaku dan cinta-Nya adalah satu dan sama. Dengan cinta itu pula, aku ingin membawamu ikut serta menikmatinya." | Agnes Ike Wicacsari

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.