2 min dibaca
Janda Desa, Perempuan yang Punya Anak Sarjana

Suara Keheningan | Ino Sigaze

Dari figur perempuan banyak penulis menulis, banyak seniman melukis dan bernyanyi. Banyak penyair berpuisi. Banyak anak-anak berdandan bak Kartini. Sebuah nama yang disebut tanpa akhir.

Perempuan janda umumnya selalu menimbulkan banyak konotasi di masyarakat, yang terkadang kurang enak didengar. Konotasi dan apa kata orang tentang perempuan janda bisa saja ada. Meskipun demikian, banyak orang tidak tahu karena mungkin tidak pernah melihat kehidupan janda-janda apalagi di desa-desa.Kehidupan para janda di desa terasa tidak ada bedanya dengan orang lain yang memiliki pasangan suami dan istri. Bahkan saya justru lebih mengagumi mereka yang seperti sebatang kara, tetapi masih punya gairah hidup dan semangat kerja yang luar biasa.

Berangkat dari latar belakang kehidupan saya yang berasal dari desa, maka saya mengenal kaum keluarga saya dan orang-orang lainnya yang hidup tanpa suami. Ada banyak alasan mengapa mereka menjadi sang janda di desa. 

Ada yang suami mereka meninggal karena penyakit kronis lainnya, ada pula yang meninggal karena kecelakaan di tempat perantauan Malaysia. Namun, apakah mereka menjadi sungguh rapuh dan tidak berdaya? Jawabannya, tidak.

Ada 4 ciri khas dan prinsip perjuangan janda desa untuk kesehatannya dan juga kehidupan dan masa depan anak-anaknya:

1. Menjadi janda bagi mereka adalah suatu tantangan, ya tantangan untuk mandiri sebatang kara

Kenyataan telah menunjukkan bahwa ada banyak sekali janda di desa yang bisa membangun rumah yang layak dan bahkan punya anak sarjana. Mengapa seperti itu?

Ada ungkapan paling sederhana dalam bahasa daerah seperti ini, "ree mozo dheko jao ai ki, asal ana jao sarjana, yang berarti, biarlah yang bernasib buruk, susah cukup cuma saya, yang penting anak saya bisa sarjanaUngkapan ini bukan ungkapan bahasa adat, tetapi sebuah tutur biasa atau tutur sehari-hari para janda di desa-desa. Namun, kekuatan tutur para janda desa itu sungguh mengubah hidup dan masa depan anak-anak mereka. 

2. Belajar menerima kenyataan sambil bekerja dengan kekuatan harapan
Mereka belajar hidup sama seperti para petani lainnya, pagi-pagi ke kebun, menanam padi dan tanaman umur panjang lainnya. Mereka punya kebun cabe yang bisa dijual seminggu sekali. Punya sedikit kebun kemiri, cengkeh, kopi, merica, vanili, dan lain sebagainya.Kekuatan mereka rupanya adalah bekerja dengan pikiran yang sehat karena bisa menerima kenyataan sendiri sebagaimana orang lainnya yang juga sendiri.

3. Menggunakan manajemen sederhana "yang penting selalu ada sisa untuk anak sekolah"

Mereka tidak punya pelajaran tentang manajemen keuangan keluarga, tetapi mereka tahu menyimpan uang untuk anak sekolah dan belanja rumah tangga. 

Prinsip mereka sederhana, prioritas mereka juga jelas. Belanja kebutuhan hidup boleh-boleh saja, perhiasan bisa juga dibeli, namun simpanan untuk anak sekolah adalah suatu keharusan.

4. Oleh karena sebatang kara, maka kesadaran untuk menjaga kesehatan menjadi lebih tinggi

Pikiran sederhana dari janda di desa-desa itu sungguh membanggakan. Mereka memikirkan kesehatan mereka sebagai hal utama karena hanya jika sehat, maka segala urusan terkait hidup dan masa depan anak-anak mereka akan berjalan lancar.Ada semacam suatu ketakutan yang positif dalam hal ini. 

Kesadaran akan sebatang kara, memampukan mereka selalu waspada dalam menjaga kesehatan mereka secara pribadi.Sungguh mengharukan kalau tiba-tiba kebetulan berkunjung ke rumah mereka. Pereka menggantungkan pada dinding rumah mereka sebuah foto bersama anak-anak mereka yang mengenakan toga sarjana.

Ya, sebuah toga sejarah tentang riwayat perjuangan sang janda yang sebatang kara di pelosok desa. Tidak pernah terkenal sebagai di dunia perfilman bagai sang janda kaya yang arogan.Mereka tampak sederhana, ulet dan setia. Bekerja dan berdoa adalah moto keseharian hidup mereka. Bahkan jauh lebih mengharukan lagi, ada juga kisah janda di desa yang berani menyerahkan anak mereka untuk hidup menurut panggilan mereka sendiri.

Mereka membiarkan anak mereka menjadi sang misionaris yang pergi jauh ke seluruh dunia. Ya, kisah para janda di desa rasanya sih ada dimensi yang susah dimengerti, mengapa mereka bisa menjadi perempuan kuat dan hebat.Mereka mungkin mendengar nama seperti ibu kita Kartini, tetapi seperti apa dan siapa persisnya ibu 

Kartini, saya yakin mereka tidak pernah tahu atau mungkin tidak tahu dengan baik.Meskipun demikian, semangat dan gairah hidup mereka yang menyerupai sang ibu Kartini, bagi saya adalah mutiara indah dari perjuangan sang janda desa. Sang janda yang terus berjuang hidup sehat, baik itu sehat fisik, sehat pikir dan sehat secara rohani.

Entahlah karena suasana di pedesaan itu, mereka selalu menjadi orang yang aktif dalam kegiatan kerohanian, kegiatan sosial lainnya. Bahkan uniknya, jarang sekali orang mendengar sang janda di desa itu mengeluh tentang kesulitan hidupnya. 

Nah, dari pengalaman dan kisah-kisah seperti ini, sebenarnya mau menggambarkan tentang betapa hebatnya perempuan. Perempuan sebatang kara pun ternyata bisa juga menyiapkan masa depan-anak mereka dengan baik.Perempuan bisa saja menjadi figur dari perjuangan sebatang kara yang tampak lemah, tetapi dibalik kelemahan mereka itu ada kekuatan tersembunyi yang punya energi dahsyat mengubah. 

Ya, bisa mengubah hidup mereka sendiri, mengubah hidup dan masa depan anak-anak mereka dan bisa saja mengubah dunia.

Kalau ibu kita Kartini sampai dengan saat ini masih dikenang oleh seluruh rakyat Indonesia, maka itu adalah bukti pengaruh dari figur sang perempuan. Dia yang bisa mengubah semua. Dari figurnya banyak penulis menulis, banyak seniman melukis dan bernyanyi. Banyak penyair berpuisi. Banyak anak-anak berdandan bak Kartini. Sebuah nama yang disebut tanpa akhir. Ya, sebuah gelap yang telah diubah jadi terang bagi semua.

Salam berbagi, ino, 22.04.2021.

Mau baca tulisan aslinya, silahkan klik di sini: Janda Desa, Perempuan yang Punya Anak Sarjana Halaman 1 - Kompasiana.com

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.