6 min dibaca
DI BALIK HURUF KECIL NAMA SANG PROFESOR: CATATAN AKHIR DISKUSI TENTANG KEHIDUPAN

Suara Keheningan | Inosensius I. Sigaze

Pada peringatan Santo Petrus Thomas seorang Karmelit yang cerdas dan bijaksana, yang dihormati sebagai rasul persatuan orang Kristen, hari itu pula Karmelit Senior Karmel Indonesia yang telah sekian lama menjadi Profesor Kitab Suci di Universitas Widya Sasana Malang itu dikabarkan meninggal dunia. 

Nama Pareira terdengar tidak asing lagi sejak menjalani proses formasi di Maumere. Sekurang-kurangnya saya mengenal keluarga Pareira yang tinggal di depan Gelora Samador Maumere. Keramahtamahan saudara-saudaranya memang tetap saja terkenang hingga sekarang ini. Sedangkan, secara pribadi nama Romo Pareira mulai terdengar sejak masa Novisiat pada tahun 2000 di Flores. Nama Pareira disebut dan diceritakan oleh imam-imam Karmel yang pernah menjadi mahasiswanya di Malang. Cerita tentang bagaimana cara dan gayanya berkhotbah dan mengajar di Universitas telah menjadi cerita yang santer di kalangan para Karmelit Indonesia. Sebagian besar Karmelit yang studi di Malang pasti mengenal dan mengalami itu, jauh lebih baik. Satu cerita yang bagi saya sangat menarik bahkan pernah saya menceritakan kembali di Jerman adalah bagaimana Romo Pareira mengkritik para Mahasiswanya yang menjawab pertanyaannya tanpa memiliki pendasaran biblis yang jelas. 

Pohon yang memiliki akar   

Romo Pareira menggambarkan pohon tanpa akar pada lembaran pekerjaan mahasiswanya. Pertama kali saya mendengar cerita itu, saya juga tertawa, tetapi setelah itu saya merefleksikan dan melihat betapa pentingnya gagasan itu. Dari lukisan sederhana pohon tanpa akar itu, bisa saja menjadi sebuah eksposisi tentang kehidupan. Eksposisi kehidupan yang diberikan kepada para Mahasiswa bisa menjadi suatu pesan yang sangat penting dan bahkan jauh lebih penting dari serangkain perkuliahan yang diberikannya. Simbol pohon tanpa akar adalah kritik yang tajam atas berbagai realitas manusia umumnya. Realitas ilmu pengetahuan tidak bisa menegasikan gagasan ini, karena apa pun yang dibangun dalam suatu konsep berpikir mesti berdiri di atas dasar tertentu (Grundlage). 

Bagi Romo Pareira sebetulnya ia mengajarkan tentang kesimpulan dari ilmu dan iman. Ilmu dan iman berdiri di atas dasar dan tidak pernah bisa dikembangkan tanpa pengetahuan yang jelas tentang akar atau dasar yang paling dalam sejak awalnya. Seorang mahasiswa yang belajar Filsafat dia tidak akan pernah melompat untuk mengenal Aristoteles, Plato, dll sebelum ia mengenal nama Thales. Agar hipotesisnya kredibel, sangat penting bahwa Thales dapat menjelaskan bagaimana semua hal bisa berasal dari air, dan kembali pada akhirnya ke air. Hal ini melekat dalam hipotesis Thales bahwa air memiliki potensi untuk berubah ke segudang hal yang alam semesta dibuat, botani, fisiologis, meteorologis dan geologis. Demikian juga gagasan tentang pohon yang memiliki akar dan atau tidak memiliki akar merujuk kepada gagasan biblis tentang perbedaan dari pendirian rumah di atas dasar batu dan didirikan di atas pasir (bdk. Mat 7: 24-27). Dalam ungkapan yang berbeda Romo Pareira sebagai pengajar Kitab Suci tentu mengajarkan tentang bagaimana orang membangun kehidupan. Supaya kehidupan ini kuat, maka harus dibangun di atas dasar yang kokoh. Dan Tuhan Yesus menyebut dasar ini adalah batu karang yaitu Kristus sendiri. 

Kematangan berpikir: Menulis dan berdiskusi 

Sebagai konfrater muda, saya memiliki rasa ingin tahu dan mau belajar berdiskusi dengan Romo Pareira. Kerinduan saya untuk berdiskusi dengannya mulai terjadi sejak tahun 2017. Dengan rasa enggan berkomunikasi dengan seniorku, saya berusaha menulis email kepadanya. Satu hal yang mengejutkan saya adalah bahwa Romo Pareira membalas email dengan begitu cepat dengan kata-kata yang sangat indah dan menyenangkan. Kalimat yang paling mengesankan adalah: „Menulis berarti berpikir kembali dan membuat orang menjadi lebih matang dalam berpikir. Harus ada coret coret dan coret coretan itu bisa didiskusikan dengan orang lain.“ (Email pada 29 Juli 2017). Kutipan kata-kata ini adalah pesan berharga dan satu warisan berarti yang tidak hanya berguna untuk para Karmelit, tetapi juga untuk siapa saja. Tentu, semua orang merindukan suatu kematangan berpikir, tetapi tidak semua orang tahu bagaimana cara mencapai kematangan berpikir. Dalam hal ini, siapa saja jangan menganggap sederhana terhadap kebiasaan menulis dan berdiskusi. 

Huruf kecil nama Sang Profesor

Setelah membuka kembali lembaran diskusi kami sejak 2017 dengan tema: „Dialog Santai bersama Sang Profesor“, saya menemukan keunikan yang tidak biasa bagi kebanyakan orang lainnya. Kebanyakan para akademisi yang memiliki banyak gelar suka menulis gelar-gelar mereka, meskipun terkadang palsu, sementara sang Profesor selalu menulis namanya pada akhir email dengan huruf kecil: „berthold.“ Tidak berlebihan, kalau saya menafsirkan kesengajaan tanpa penjelasan ini sebagai simbol dari kerendahan hati dari Sang Teolog. Tidak hanya kerendahan hati, tetapi bisa juga ungkapan kejujurannya di hadapan Tuhan, tentang betapa kecilnya dia di hadapan Tuhan, sumber ilmu pengetahuan. 

Kerendahan hati dari seorang yang luar biasa cerdas dan berilmu itu rupanya mengajarkan kita dalam keheningan. Perhatikan buku „Mari merayakan Ekaristi dengan Indah.“ Disana tidak ada rentetan riwayat hidup pendidikan yang bisa dibaca, namun bahasa yang langsung dimengerti pembaca itu terlihat jelas di sana. Romo Pareira pernah menulis: „Orang yang biasa menulis tahu betapa sulitnya mengutarakan semua dengan jelas.“ Zitat ini, sekaligus mengungkapkan kejelasan cara berpikir dan kejelasan jiwanya. Ia menulis namanya dengan huruf kecil tentu dari kesadarannya yang jelas, kecil di hadapan Tuhan. 

Melihat hati   

Dalam suatu kesempatan pada tahun 2020 lalu, kami berdiskusi tentang hati. Ada banyak yang dijelaskan dan diceritakannya, tentu dari sudut pandangnya tentang hidup sosial, hidup komunitas dan hidup manusia umumnya. Romo Pareira mengungkapkan kekagumannya terhadap Santo Fransiskus dari Asisi. Dari sekian banyak kalimatnya tertulis kata-kata ini: „Jauh, jauh lebih mudah melihat kerusakan fisik daripada kerusakan hati kita.“ Realitas apa yang menjadi latar belakang ungkapan ini, tentu saja ini adalah kritik terhadap realitas kehidupan manusia saat ini. Romo Pareira tidak berbicara tentang orang harus belajar melihat dengan hati sebagai yang paling penting, tetapi orang harus melihat hatinya. Kegemaran memperbaiki bangunan fisik, rupanya bagi Romo Pareira harus diimbangi dengan kegemaran memperbaiki rumah hati. 

Ketegasan dan keberanian mengkritik 

Cerita tentang Romo Pareira yang berani mengkritik siapa saja, baik itu konfrater sendiri, institusi gereja maupun institusi pemerintah tidak terlepas dari pengalaman berikut ini: Pada Juni 2016 Romo Pareira datang ke Jerman untuk menghadiri kakaknya Moad Mbako Parera yang meninggal di Wiesbaden, Jerman. Romo Pareira selama tiga hari tinggal di Biara Karmel Mainz. Dalam suatu kesempatan saya mengajaknya untuk mengikuti misa di Gereja Karmel. Ada seorang Konfrater yang menyandang gelar Doktor Teologi menjadi petugas baca pada waktu itu, kebetulan bacaan sangat panjang, lalu pada akhir bacaan, konfrater itu tidak mengatakan „Demikian Sabda Tuhan.“ Tetapi dengan formulasi bebas seperti: „Demikianlah bacaan yang sangat panjang ini“ (kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia). Lalu kami melanjutkan acara makan siang bersama. Romo Pareira duduk persis berhadapan dengan konfrater yang menjadi lektor tadi di gereja. Romo Pareira terlihat lebih cepat selesai makannya daripada sebelumnya. Tiba-tiba, dalam bahasa Jerman yang sempurna ia bertanya: mengapa kamu tadi mengatakan dengan formulasi seperti itu? Sang Doktor itu menjawab dengan dalil rasionalnya, namun serentak Romo Pareira mengatakan dengan suara yang agak keras hingga kami semua terdiam. Katanya, „Tidak, Formulasi itu adalah satu kesatuan sebagai Firman Tuhan.“ 

Kisah ini sudah menjadi kisah yang terus berulang di Mainz dengan refleksi tentang ketegasan dan keberanian sang ilmuwan. Ia berani mengkritik berdasarkan apa yang dipelajari, diketahui dan diimaninya. Karena itu, kalau dikatakan saat ini kita kehilangan Romo Pareira, saya merasakan kehilangan seorang sosok senior yang tegas dan berani mengkritik segala bentuk rasionalisasi dangkal yang tidak berakar pada ilmu dan iman. 

„Tenaga saya sudah hampir habis“   

Dugaan dan prediksi tentang memburuknya keadaan Romo Pareira mulai terasa, sejak 16 November 2020. Saya terkejut ketika ia menulis kata-kata ini: „Tenaga saya sudah hampir habis.“ Pertama dalam sekian kali sesi diskusi kami, ia mengatakan tentang keadaan dirinya, dan itu terasa di saat-saat terakhir hidupnya. Hal ini juga menarik untuk direfleksikan. Ia adalah konfrater senior dalam Karmel yang betul-betul berpikir tentang masa depan Gereja umumnya dan juga masa depan Karmelit khususnya. Ia adalah figur panutan yang berbicara sedikit tentang dirinya. Ia berbicara banyak tentang Firman Tuhan, tentang orang banyak atau tentang Ordo, atau tentang hidup. Bayangkan dalam kesadaran diri tentang habisnya tenaganya, ia masih terus berpikir dan berkata-kata, meskipun tanpa pertanyaan sebagai reaksinya. Dalam suatu kesempatan diskusi, Romo Pareira menulis demikian: „Kalau kita memperhitungkan kekuatan insani kita saja dan tidak punya iman, lebih baik tidur saja.“ Lanjutnya: „orang yang takut dan ragu-ragu tidak bisa berkembang.“ 

Riwayat hidup 

Rm. Prof. Dr. Berthold Anton Pareira, O.Carm 

Lahir                             : Maumere, 13 Juni 1939 

Masuk Ordo Karmel  : Karmel Batu, 1959 

Kaul Perdana              : Karmel Batu, 7 Agustus 1960 

Kaul Kekal                   : Karmel Batu, 7 Agustus 1963 

Tahbisan Imam         : Maumere, 24 Juli 1966 di Gereja Santo Yosef Maria sebagai imam Karmel pertama di Flores dan  Lembata. 

Pendidikan: 

1946 - 1952 : Sekolah Dasar di Lela dan Maumere, Flores 

1952 -1959  : Seminari Menengah Santo Johannes Berchmans Toda Belu, Mataloko, Flores 

1960 - 1966 : Seminari Tinggi Karmel, Batu, Malang 

1966 - 1967 : Seminari Tinggi Karmel Pematang Siantar, Sumatera Utara 

1967 - 1969 : Licentiat Teologia di Universitas Gregoriana, Roma 

1969 - 1971 : Licentiat Kitab Suci di Institutum Biblicum, Roma, Italia 

1971-1972   : Studi di Universitas Göttingen, Jerman 

1967-1975   : Doktor Teologi Kitab Suci di Universitas Gregoriana, Roma, Italia. Disertasinya berjudul, “The Call to Conversion in Ezekiel, Exegesis and Biblical Theology” dengan predikat kelulusan Magna Cum Laude dan Medali Paus Paulus VI. Duta Besar RI untuk Vatikan Subagio Suryaningrat beserta stafnya dan segenap imam asal Indonesia yang sedang belajar di Roma hadir saat Romo Pareira mempertahankan disertasinya. 

Tugas dan karya pokok: 

1972-1975: Asisten Dosen Perjanjian Lama di Universitas, Gregoriana, Roma, Italia 

1975- 8 Januari 2021: Dosen Kitab Suci Perjanjian Lama di STFT Widya Sasana, Malang 

1980-1986: Pembantu Ketua I STFT Widya Sasana, Malang 

1987-1998: Ketua STFT Widya Sasana, Malang 

1 Juni 2006: Guru Besar Kitab Suci Perjanjian Lama STFT Widya Sasana, Malang

Tugas dan pelayanan lain: 

1979-1982; 1985-1988: Anggota Definitor Ordo Karmel Provinsi Indonesia 

1976-1991: Formator para frater Karmel 

1992: Promotor formaslo Frater Karmel di Flores 

1976: Bapa pengakuan Biara SSps St. Marla, Batu 

1988: Bapa rohani Frater calon Imam Seminari Tinggi Antardiosesan Giovanni Malang 

25 Sept 1997: Anggota Komisl Evangellsasi Ordo Karmel 

13 Maret 2000: Penasehat Komisi HAK - Keuskupan Malang 

1989-2000: Anggota Komisi Internasional „Justice and Peace“ Ordo Karmel 

1987-2006: Kepala Perpustakaan STFT Widya Sasana 

1994-1999: Anggota Komisi Teologi KWI serta anggota Tim LBI - LAI untuk Penerjemahan Kitab Suci Perjanjian Lama sampai sekarang. 

Romo Pareira juga pernah menjadi Dosen Tamu di STFK Ledalero Flores, STFT Fajar Timur Abepura, di Vietnam dan Timor Leste   

Penutup 

Tulisan ini adalah ungkapan penghormatan yang sebesar-besarnya untuk Romo Berthold Anton Pareira yang tidak hanya telah menginspirasi banyak orang, tetapi sebagai seorang pribadi dengan integritas dan karakter yang kuat dijiwai semangat kenabian Perjanjian Lama, pengamat kehidupan sosial Gereja yang kritis dan tajam, sehingga sering dijuluki „Sang Nabi“. Seorang pribadi yang sangat disiplin, teguh pada prinsip, nampak keras namun sebenarnya seorang pribadi yang juga lembut dan gampang tersentuh. Warisan ilmu, kebijaksanaan dan Imannya, tetap terpatri kuat dalam diri banyak umat dan murid-muridnya. 

Ma sai moang Nokerua, ma tahi blino lalang wo'er. Karang lopa kaet alang, tali lopa dagir wa'ing. Ma sai... Ma reta Amapu du'ang beliau itang, reta seu lape pitu, reta kota lape walu. Kamang lopa hulir ami lepo Karmel, ngaji beli ami niang Karit. Tebe ...amang tuang du megung. (T. Jenti) Atau: selamat jalan Bapa Pastor, selamat jalan dalam damai, tanpa halangan dan hambatan, selamat jalan menuju Bapa di Surga Mulia. Jangan lupakan kami yang ada di Komisariat Karmel Indonesia Timur (Karit), doakan kami selalu, salam Bapa Pastor kami yang terkasih.

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.