4 min dibaca
Cara Praktis Mengatasi FOMO Pasca Pandemi

Suara Keheningan | Inosensius I. Sigaze, O.Carm

Jangan biarkan kecemasan dan ketakutan menghimpit hati dan pikiran Anda. Lakukan hal yang baik tanpa harus membanding-bandingkannya dengan apa yang dilakukan orang lain secara berlebihan.

Awal semester kuliah di musim dingin (winter semester) menyisakan pengalaman baru dan aneh. Tidak biasanya merasakan suasana batin seperti semester di bulan Oktober ini.

Apa yang berbeda? Tentu bukan karena jumlah orang di kampus atau juga bukan karena situasi pandemi yang belum pasti berakhir, melainkan perasaan-perasaan yang muncul spontan dalam hati dan pikiran.

Selasa 19 Oktober 2021 kemarin, menjadi hari pertama setelah dua tahun hanya mengikuti kuliah online, meski cuma sesekali saja. Selain itu ada juga beberapa pertemuan online.

Ada perasaan yang tidak bisa disembunyikan adalah bahwa ada rasa takut ketinggalan atau dalam bahasa yang lebih elegan dikenal dengan sebutan "Fear of missing out." 

Apa itu fear missing out?

Fear of missing out (FoMO) adalah satu bentuk ketakutan atau kecemasan dan kekhawatiran sosial. 

FoMO bisa disebut sebagai satu fenomena sosial yang muncul karena pengalaman kehilangan interaksi sosial, pengalaman yang tidak biasa, atau peristiwa memuaskan lainnya dan seseorang tidak dapat mengikuti perkembangan terkini.

Apa saja gejala yang mengindikasi seseorang sedang mengalami FoMO?

Fear of missing out disadari melalui gejala-gejala seperti ini:

  1. Anda merasa cemas karena tidak tahu apa yang dilakukan teman-teman Anda di kampus saat ini.
  2. Anda cemas kalau orang lain atau teman lain menjadi lebih maju dalam kuliah dan pekerjaannya atau menjadi lebih sukses.
  3. Sedih karena ketika teman-teman bisa bertemu dan bersenang-senang, sedangkan Anda masih harus mengurus sesuatu dan akhirnya tidak bisa hadir di sana.
  4. Sering cemas dan takut ketika Anda mempersiapkan sesuatu entah itu tulisan, gambar misalnya di platform media sosial. Takut dianggap terlalu narsis, tidak mendalam dan tidak berisi, takut tidak mendapatkan label dan lain sebagainya.
  5. Kehilangan konsentrasi pada waktu belajar atau sedang mengikuti kuliah, karena pada saat itu juga muncul dorongan bahwa Anda harus mengirim pesan tertentu kepada teman, orangtua atau teman kerja.
  6. Gelisah dan cemas saat makan di restoran atau juga sedang bekerja di perusahaan, karena macam-macam alasan seperti, takut terkena virus Corona, takut gaji terlambat, takut kesulitan di tanggal tua, dan lain sebagainya.

Inilah beberapa gejala kecemasan yang bisa membawa seseorang atau siapa saja kepada fear of missing out. Fenomena ini terasa semakin besar dan semakin banyak menimpa manusia secara global.

Pasca pandemi yang begitu ekstrim membatasi ruang interaksi sosial bisa menyeret manusia secara global kepada fenomena fear of missing out di mana saja dan bisa terjadi kapan saja.

Melawan fear of missing out

Berangkat dari pengalaman pribadi tentunya saya mulai mengolah perasaan cemas, takut dan gelisah itu. Pikiran dan cara apa saja untuk melawan FoMO?

1. FoMO perlu dilawan dengan kebiasaan diri menentukan rencana dan target tanpa harus terlalu sering membandingkan diri Anda dengan orang lain

Rasa cemas, gelisah, iri hati saat melihat ada begitu banyak orang lain pada saat pandemi ini justru berkembang, kreatif dan produktif dalam bidang-bidang yang sedang ditekuni seseorang.

Bahkan perlu diketahui bahwa manusia tidak pernah menghindar dari keinginan diri menjadi lebih maju, menjadi lebih baik, lebih populer dan lain sebagainya. Akan tetapi, jangan lupa lho, Anda harus punya target sendiri dan fokus pada target pribadi.

2. FoMO perlu dilawan dengan kebiasaan menenangkan diri sendiri

Ketenangan diri itu sangat penting agar hati dan pikiran tidak dihimpit rasa iri yang berlebihan dan berkepanjangan. Ada lho, yang karena iri membawanya jadi gelisah tidak bisa tidur.

Tidak hanya itu, ketenangan diri menjadi modal bagi siapa saja untuk mengalami rasa damai dengan dirinya sendiri. Ini cuma sharing kecil dari pengalam sendiri. Rasa iri hati yang melahirkan kecemasan, ketakutan, ya FoMO itu muncul silih berganti, namun ketika menikmati instrumen syahdu, saya bisa memejamkan mata dan tertidur, tenang, bahkan damai kembali hati ini.

Terkadang saya mengambil waktu setengah jam untuk berada sendiri di pesisir sungai Rhein sambil berjalan-jalan santai dan bisa menikmati udara segar di sana. FoMO di manakah dirimu?

Keheningan ternyata bisa menyingkirkan kecemasan. Tentu, cara ini tidak mudah bagi orang yang belum biasa dan akrab dengan keheningan. Bisa-bisa tambah cemas.  Ini cuma suatu cara dari pengalaman pribadi, bisa dicoba, tapi kalau tidak nyaman, cobalah cara lainnya.

3. Lawan FoMO dengan berpikir realistis

Beberapa bulan lalu saya pernah mengalami FoMO kritis, yakni saat kembali ke Indonesia. Rasa takut ketinggalan dengan apa yang terjadi di universitas  begitu tinggi. 

Di depan mata saya bahkan terlihat seperti tidak ada peluang dan harapan yang cerah lagi. Apakah saya bisa kembali untuk melanjutkan kuliah? Apakah semua itu mungkin di saat pandemi ini? Apakah harus karantina lagi?

Suatu waktu saya sampai pada kesadaran bahwa saya harus hidup untuk hari ini. Jika hari ini saya sehat, maka hari esok mungkin bisa dicapai dengan baik.

Hari ini saya harus bisa menikmati bersama orangtua dan keluarga sebelum semuanya berada di tempat yang jauh dan berbeda. Saya memilih bahagia saat bersama orangtua dan keluarga. Ya, realistis, sekarang saya ada di mana dan saya bahagia di sana.

FoMO di manakah kau berada? Mungkin inilah cara mudah dan sederhana mengatasi FoMO. Berpikir realistis sesuai keadaan dan tempat di mana Anda berada menjadikan Anda orang bahagia. 

4. FoMO bisa dilawan dengan cara membatasi interaksi di media sosial

Membatasi interaksi melalui media sosial? Oh ampun deh. Nah, cukup banyak FoMO menghimpit kehidupan orang muda. Orang muda lebih cepat mengikuti perkembangan teknologi dan lebih akrab dengan semua yang namanya media sosial.

Oleh karena itu, tidak heran penelitian yang dilakukan oleh agen periklanan internasional JWT Intelligence mengungkapkan bahwa fenomena FoMO itu lebih mudah terjadi pada orang muda daripada orang tua, bahkan uniknya bahwa pria muda lebih mudah daripada wanita muda.

Penelitian itu juga mengungkapkan sebab dari FoMO adalah karena muncul perasaan tidak puas dengan kehidupan mereka sendiri. Mengapa orang sering tidak puas? 

Seorang teman saya pernah menjelaskan alasannya mengapa tidak menggunakan banyak media sosial? Karena melalui media sosial, orang bisa melihat segala sesuatu yang menarik dan bagus, sementara itu orang itu tidak bisa memilikinya. Sebagai akibatnya, dia sendiri akan tidak puas dengan hidupnya.

5. FoMO dilawan dengan menentukan jam olahraga pribadi

FoMO bisa saja terjadi dan semakin memperparah keadaan pada orang yang tidak memiliki kebiasaan olahraga. Logika sederhana saja bahwa ketika berolahraga seseorang akan merasakan kesegaran badan, bahkan terasa lelah, maka dalam keadaan seperti itu, orang akan menjadi gampang tertidur.

Nah, apa jadinya kalau sudah ada gejala FoMO lalu malas olahraga? FoMO merajalela bukan? Jadi, tips sederhana saja atasi FoMO dengan menyiapkan waktu untuk olahraga. Olahraga bisa menjadi satu alternatif untuk berhenti dari interaksi dengan handphone atau HP dan tentu berhenti dalam urusan dengan interaksi dengan media sosial.

Masa-masa pasca pandemi ini sebenarnya sudah memungkinkan seseorang untuk kembali menyusun program hidup sehat di rumah dan di mana saja. Jangan menunda hal yang memang penting untuk kehidupan dan kesehatan pribadi Anda.

Demikian ulasan terkait fear of missing out (FoMO) yang tentu tidak hanya sebagai pribadi mengalami kecenderungan itu, tetapi juga secara sosial-global dialami oleh sebagian besar orang saat ini. Mungkin cara-cara praktis dan pengalaman kecil dalam tulisan ini bisa memberikan satu titik cerah untuk melawan FoMO dalam diri masing-masing. 

Salam berbagi, ino,20.10.2021.

Referensi: 1

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.