3 min dibaca
BANGGA MENJADI ANAK GURU

Suara Keheningan | Yancen Wullo

Menjadi guru adalah sebuah pilihan hidup. Tidak semua ingin memilih jadi guru, apalagi ditempatkan di daerah terpencil. Namun demikian, tugas seorang guru sangat mulia yakni mengantar, menuntun anak didik untuk mengerti, mengetahui serta menghidupi nilai-nilai kehidupan.  

Jika ditanya kepada para guru, apa yang paling indah dalam hidup, maka jawabannya adalah mengajar. Paus Fransiskus pada 16 Maret 2015, di Vatikan mengatakan  “Mengajar itu indah” keindahan itu ketika mengenang lagi hari-hari bersama di ruang kelas, di mana para guru menghabiskan waktu kerja di sekolah bersama anak-anak. 

Kenangan terindah seorang guru adalah  mengingat setiap siswa mereka dan bagaimana membantu setiap siswa untuk maju.Maka, sebagai seorang anak, patutlah berbangga, dilahirkan, dibesarkan dan dididik dalam keluarga seorang guru. Walaupun banyak kesulitan, toh masih banyak kemudahan dan tumbuh rasa bangga hingga saat ini. Guruku adalah pahlawan tanpa tanda jasa.

Menjadi guru di daerah terpencil  tahun 1950-an adalah sebuah panggilan, penuh tanggung jawab besar. Jarak tempuh yang jauh, sulitnya transportasi, serta terbatasnya sarana dan prasarana. Namun demikian, tak menjadi penghalang bagi para guru untuk memajukan  pendidikan  serta mencerdaskan anak bangsa.

Satu persatu kisah sulitnya menjadi guru sering terdengar kembali. Pengalaman itu masih terus dialami hingga tahun 1980-an saat duduk di bangku Sekolah Dasar. Mendengar kisah ini bagiku menjadi saat yang tepat mengasa dan memotivasi diri untuk belajar menjadi seorang yang  sukses. 

Sosok ayah bagiku adalah Sang pencerita yang hidup.Ayahku seorang guru kelas satu SD di daerah pedalaman. Setiap pagi ia bangun pagi-pagi, kemudian mengajak kami untuk berdoa bersama dan melanjutkan tugas  menyiapkan bahan untuk mengajar. 

Sering membantu ibu di dapur dan menyiapkan segala kebutuhan kami sebelum berangkat ke sekolah. Sebelum berangkat, kami selalu dinasehati demikian, “Di rumah kalian memanggilku sebagai bapak atau ayah. Tetapi ketika kalian berada di lingkungan sekolah harus memanggil pak guru. 

Bedakan tempat, status ataupun profesi. Kalian harus menjaga sikap dan tunjukkan bahwa kalian adalah anak seorang guru sehingga menjadi panutan bagi teman-temanmu”. Cukup sederhana, namun mendalam maknanya. 

Kami diajarkan untuk menempatkan diri pada posisi dan tempat yang benar.Jika sedang berada di sekolah, tidak ada perlakuan khusus atau istimewa. Semua murid sama. Tentu sebagai seorang anak SD, ini bukan perkara mudah, namun kami berjuang untuk melakukannya. 

Perlakuan terhadap kami pun tidak seperti dialami di rumah. Jika tidak mengerjakan tugas, diomeli, dan di hukum. Bahkan beberapa kali dipulangkan karena terlambat masuk kelas. Tak peduli anak guru sekalipun. Pengalaman yang indah dan mengesankan bagi seorang anak.

Jika sepulang dari sekolah, ayah selalu menasihati tentang semua kesalahan kami di sekolah. Tentu nasihatnya sebagai seorang bapak, bukan lagi sebagai seorang guru. Lebih lembut, penuh kasih sayang, lanyaknya seorang bapak dan anak, bukan sebagai seorang guru dan murid. 

Di sekolah kami menjaga jarak, namun di rumah kami digendong, dipeluk serta diajak bermain dengan penuh suasana kekeluargaan.Disiplin belajar, mengerjakan tugas rumah tepat pada waktunya. Jika tak mampu mengerjakan pekerjaan tangan yang sulit, ayah selalu mendampingi, menuntun dan mengajar bagaimana cara menyelesaikannya. 

Jika tak mengerti dan mengalami kesulitan dalam belajar, tak segan-segan kami bertanya, namun tidak memaksa ayah mengerjakan semua tugas. Teori diberikan, cara mengerjakan diberitahukan, namun proses hingga mendapat  hasil dari jawaban, dikerjakan oleh kami sendiri. Betapa bangganya seorang anak guru saat itu.Beberapa kali ayah diam saat menyaksikan kenakalan kami. 

Tak banyak berkomentar. Kadang kami merasa bersalah saat tak ada komunikasi. Kami pada akhirnya mengerti bahwa kesaksian tanpa kata merupakan cara yang tangguh dan berdaya guna, yang menimbulkan pertanyaan dalam hati yang melihat. 

Kami percaya tidak semua nasihat harus dinyatakan dalam bentuk kata-kata, kadang diam adalah cara tepat untuk mengubah sesorang yang melihatnya. Dengan demikian, kami belajar untuk memperbaiki diri menjadi lebih baik lagi.Hal yang paling mengesankan adalah ketika malam hari. 

Kami selalu berkumpul sekeluarga dan mendengar kisah-kisah unik selama pengalaman ayah mengajar. Beberapa anak dijewer telinga sampai datang mengamuk orang tuanya, juga cerita tentang kenakalan anak-anak, dan bagaimana menghadapi anak yang kurang mampu secara fisik, mental dan pengetahuannya. 

Kisah mengubah seorang anak yang sama sekali tidak mengenal huruf, hingga akhirnya bisa membaca dengan lancar. Tak ada yang dikeluarkan dari sekolah dengan alasan bodoh ataupun nakal. 

Semua didampingi, diajarkan semaksimal mungkin. Bagaimana cara mengubah mereka, dan membuat mereka betah di sekolah, itulah kisah inspiratif yang terus kami kenang ketika menghadapi sulitnya hidup.

Entah apa alasan ayah begitu terbuka saat itu, namun dibalik kisah itu ia menginginkan setiap anak belajar untuk hidup, walau sulit selalu ada jalan menggapai kesuksesan. Tak boleh putus asa atau menyerah. Sulitnya hidup bukan berarti berhenti berjuang.

Tak terdengar sedikit keluhan, karena ayah seorang yang sungguh menikmati hidupnya sebagai seorang guru. Ini panggilan, ini tugas mulia. Jika dilaksanakan dengan sepenuh hati, maka panenanpun berlimpah ruah. Ternyata tugas guru yang baik adalah mengasihi para siswa, yang lebih sulit, yang lebih lemah dan yang kurang mampu, dengan intensitas lebih besar.” 

Jika ada siswa yang membuat para guru kehilangan kesabaran, “kita malahan harus mengasihi mereka!” demikian kata Paus Fransiskus. Paus Fransiskus meminta para guru untuk lebih mencintai para siswa yang ‘sulit’, yakni “yang tidak ingin belajar, yang berada dalam keadaan sulit, yang cacat, yang asing. Ajaran Paus ini mungkin sudah dijalani para guru sejak dahulu kala. 

Anak merasa diterima dengan baik dan dicintai siapapun dirinya, dengan segala keterbatasan dan potensi mereka. Saya bisa merasakan dan mengalaminya betapa mulia pekerjaan guruku. 

Bangga menjadi anak guru. Mengapa tidak, sebuah panggilan untuk melayani tanpa peduli jarak, kesulitan dan lain sebagainya. Asal mereka yang dididik pada waktunya sukses dan berhasil. 

Maka sukacita terbesar seorang guru adalah melihat anak didiknya berhasil apalagi anaknya sendiri. Bangga sebagai seorang anak guru mendapat warisan dari sang pencerita, sekaligus teladan hidup yang tegar dan tak henti-hentinya menabur kebaikan demi dan untuk masa depan bangsa yang sejahtera. 

Ceritra ini tak akan berahkir sebelum kita menjadi guru yang baik bagi mereka yang perlu disapa, diperhatikan. Dengan demikian kisah pembawa “berkat” terus hidup dan menginspirasi generasi yang akan datang.

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.