4 min dibaca
3 Risiko dan Tantangan Pembelian Alutsista TNI dari "Barang Asing"

Suara Keheningan | Ino Sigaze

Evaluasi dan perspektif baru dibutuhkan agar tingkat ketergantungan pada "barang asing" disadari, hingga menaikan  kepercayaan publik pada produksi karya anak bangsa dalam negeri.

Membaca dan mencermati kembali daftar kecelakaan alutsista TNI/POLRI sejak tahun 2015 sebagaimana dilansir Kompas TV (25/04/2021) spontan menyisakan pertanyaan dalam benak saya: Mengapa begitu banyak kecelakaan terkait alutsista itu? Tidak menuduh siapa-siapa, tetapi ulasan ini hanya merupakan pandangan kritis tentang keadaan nyata yang mungkin terus berulang dan menorehkan konsep tidak sedap tentang bencana alutsista di Indonesia.
Memang ada sisi lain dari bencana dan kecelakaan seperti itu, ya ketika proses evakuasi dilakukan dengan cepat dan berhasil, maka berita tentang reputasi personil TNI dan POLRI kita menjadi trending topik dunia. Pertanyaannya itukah yang kita cari? Saya harap tidak demikian. Kita bisa mencari reputasi lain yang tidak datang setelah banyak orang meninggal. Reputasi kecerdasan untuk menciptakan alutsista yang berkualitas dunia adalah refleksi sekaligus tantangan bangsa saat alutsista yang dalam tanda petik barang-barang asing itu ternyata bisa dibeli, namun sekaligus menyimpan janji pasti tentang duka dan bencana.Mau pilih mana, alutsista bekas asing yang kelihatan modern, meski kita tidak tahu seperti apa ketangguhan dan kualitas sebenarnya atau mencoba produk negeri atau memacu anak bangsa untuk menghasilkan sendiri.

Nanggala bisa menjadi sorotan tantangan untuk anak bangsa untuk memikirkan kembali kegemaran membeli barang asing teristimewa alutsista untuk kepentingan pertahanan bangsa.Pengakuan tentang "barang asing" memang tidak bisa kita hindari, bahkan dari ungkapan "barang asing" itu sendiri tersembunyi makna yang kadang diterima tanpa dikaji dengan kritis.

3 arti dari barang asing:

1. Barang asing berarti barang yang tidak dikenal dengan baikSehebat-hebatnya seseorang mempelajari barang asing, dia tetap menemukan kejutan saat berjumpa dengan sistem teknik yang baru. Saya ingat ada seorang teman saya yang empat tahun tinggal di Chicago, lalu kembali ke Jerman beberapa bulan untuk mempelajari bahasa Jerman.
Anehnya bahwa di Jerman dia merasa heran bahwa ada sejenis lampu lorong otomatis. Ia bertanya, di mana saya harus mematikan lampu ini. Saya mengatakan kepadanya, kamu harus meninggalkan tempat itu, maka lampu itu akan sendiri padam.Sebuah kemajuan teknologi yang dibangun untuk menghemat listrik dengan logika, lampu itu akan menyala sejauh dibutuhkan manusia. Sebaliknya, jika tidak dibutuhkan, maka tidak harus menyala.Rupanya sama-sama negara maju, namun tidak semua teknik yang dikembangkan di Jerman itu diketahui negara lain. Meskipun itu adalah hal-hal kecil saja. 

Ini hanya sebuah ilustrasi dari pengalaman nyata. Bisa dibayangkan bagaimana orang Indonesia bisa menguasai semua sistem mesin yang dihasilkan oleh kemajuan teknologi Jerman.
Bukan soal lamanya barang itu dipakai lalu terasa aman, tetapi kemampuan untuk mengetahui keadaan mesin yang baik dan tidak itu yang mesti kita miliki. Nah, lagi-lagi, untuk mengetahui keadaan mesin bukan saja menjadi pekerjaan tenaga ahli manusia, melainkan orang Jerman punya mesin untuk menscan keadaan apa saja. Saya pernah melihat sendiri, mereka menggunakan alat-alat khusus untuk mengetahui dinding rumah apakah dalam keadaan baik atau tidak, ada juga alat untuk mengetahui keadaan instalasi listrik, keadaan fondasi rumah, bahkan untuk menguji apakah atap rumah masih dalam keadaan baik atau tidak.

Untuk hal yang sederhana saja, mereka sudah punya standar kelayakan yang diukur dengan mesin, apalagi untuk teknologi seperti alutsista. Saya menduga kelemahan kita ada pada titik itu. Kita masih mengandalkan kerja dan keahlian tenaga manusia dalam mengontrol mesin alutsista.Memang ada banyak sumber penyebab kerusakan mesin, tetapi dari sekian sebab itu, mungkin salah satunya karena itu adalah "barang asing" di mana kita sendiri tidak punya mesin untuk mengontrol keadaan mesin dalam menguji kelayakannya untuk dipakai atau segera direparasi.

Layak pakai itu bukan berarti "ah itu masih bisa berjalan, maka itu artinya layak." Harus dikatakan tidak boleh berpikir begitu. Prinsipnya, segera diperbaiki sebelum kerusakannya berdampak pada keadaan manusia. 

2. Barang asing tidak selamanya adalah barang baru
Siapa sih yang benar-benar tahu bahwa barang asing itu adalah barang baru. Atau siapa yang benar-benar tahu bahwa barang asing itu adalah barang yang berkualitas. Bisnis dan perdagangan alutsista adalah bagian dari tema politik yang mau tidak mau harus ditafsir dengan arah yang bermacam-macam. Bencana alutsista perang selalu ada hubungannya dengan reputasi militer suatu negara. Nah, bagaimana dengan Nanggala?

3. Barang asing berarti barang baru yang siap dipelajari

Tidak bisa dielakan bahwa alutsista produksi asing itu sendiri menumbuhkan rasa ingin tahu anak bangsa untuk menguasai, bahkan bisa memproduksi sendiri.
Proses belajar bisa saja bukan saja soal teknik praktis tetapi juga berkaitan dengan perbaikan-perbaikan sistem yang umumnya bagi negara asal pembuatannya selalu dilakukan dengan tenaga mesin pula. Mengapa begitu? Tentu semua itu dilakukan berkaitan dengan kualitas dan keamanan.Saya ingat cerita tentang mesin cuci alat-alat masak yang rusak, lalu direparasi oleh tenaga ahli mesin cuci yang didatangkan secara khusus. Pada sesi terakhir dari reparasinya, diambilkan satu alat kecil yang ditempelkan pada mesin cuci itu, lalu mesin itu memberi tahu melalui lampu hijau dan juga dokumen tertulis bahwa mesin cuci sekarang dalam keadaan baik dan layak untuk dipakai.

Selanjutnya saya melihat ada 3 Resiko dari barang asing:

1. Ada kemungkinan barang bekas yang sudah pernah dipakai dan direparasiResiko dari barang asing adalah menyisakan kemungkinan-kemungkinan seperti itu adalah barang bekas yang sudah pernah rusak dan direparasi. Semuanya bisa saja ada dan mungkin. Tingkat kenyamanannya itu sampai kapan. Tentu yang tahu tentang kekuatan dan kelemahan alutsista itu sebenarnya cuma tenaga ahli dari negara yang menghasilkan mesin itu. tentu dengan bantuan mesin-mesin lain buatan mereka yang secara khusus untuk mendeteksi kelayakannya.

2. Ada kemungkinan barang asing itu hasil dari modifikasi dari produksi asli yang fungsinya tidak maksimal lagi

Kemungkinan yang lain adalah barang asing itu merupakan hasil modifikasi yang disetarakan dengan generasi terbaru. Pertanyaannya sama, siapa sih yang benar-benar tahu. Di mana-mana selalu yang namanya hidden agenda dari suatu produk.Kegagalan dalam mengetahui kepastian dari sekian banyak kemungkinan-kemungkinan ini, tentunya berakibat fatal atau bisa mendatangkan bencana. 

3. Daya tahan dan keamanan dalam beroperasi sangat beresiko dan mengalami persoalan teknis mekanikKemungkinan ketiga yang tidak kalah penting, bahkan selalu menjadi alasan di tengah kebuntuan pencarian alasan adalah persoalan teknis mesin yang tidak bisa dikontrol tenaga manusia. 

Bahkan tidak boleh dianggap sepele bahwa usia barang asing itu juga sangat menentukan kualitas dan efektifitas. Sebagai contoh kapal selam Nanggala sebagaimana dilansir Kompas.com (22/04/2021) adalah buatan Jerman pada tahun 1978 yang dipesan pemerintah Indonesia pada tahun 1979 dan  diserahkan kepada Indonesia pada Oktober tahun 1981.

Karena itu, ada pula tantangan untuk anak bangsa:

1. Bagaimana anak bangsa bisa menciptakan alutsista sendiri yang mudah dikuasai dan berkualitas baik.

2. Bagaimana anak bangsa menguasai teknik mesin alutsista meskipun adalah barang asing: bahasa dari negara yang memproduksi mesin alutsista harus bisa dikuasai.

3. Bagaimana memiliki keahlian khusus dan terus mempelajari, bahkan menguasai ilmu kemaritiman, keadaan darat dan udara Indonesia. Termasuk harus memiliki pengetahuan tentang titik-titik arus yang harus dihindari.

Pengetahuan tentang laut, darat dan udara memang mesti menjadi prioritas pelajaran anak bangsa. Meskipun demikian, semua orang tentu tidak pernah tahu kapan ajal itu tiba. Ya, belajar dari peristiwa demi peristiwa dan beberapa kali kecelakaan terkait alutsista TNI/POLRI, maka evaluasi dan pandangan kritis terkait alutsista asing perlu menjadi perhatian bangsa.

Reputasi bangsa umumnya dan reputasi TNI/POLRI terkadang secara gamblang ditakar pada saat bencana dan kecelakaan. Syukur-syukur kalau kita sendiri bisa menangani dengan cepat dan selamat tanpa bantuan asing, tetapi jika sebaliknya, maka kita perlu dengan rendah hati mengevaluasi diri dan kesiapan kita.Demikian beberapa catatan terkait 3 resiko dan tantangan pembelian alutsista "barang asing." Tentu, ada banyak juga penulis lain yang mengkritisi tentang pembelian alutsista tanah air. Keragaman perspektif tidak lain bermaksud untuk meningkatkan gairan kemajuan ilmu dan pengetahuan kita di bidang  kemodernan pada umumnya dan teknologi alutsista khususnya.

Salam berbagi, ino, 26.04.2021.

Mau baca artikel aslinya, klik di sini: 3 Risiko dan Tantangan Pembelian Alutsista TNI dari "Barang Asing" Halaman 1 - Kompasiana.com

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.