1 min dibaca
21 Apr
21Apr

Suara Keheningan | Savitri Chandra

Joss Wibisono, orang Indonesia yang lama menetap di Belanda dan paham betul bahasa Belanda, menyebut “Door Duisternis Tot Light” yang diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang” itu, bermasalah, tidak sesuai dengan makna aslinya, dan nampak terlalu disederhanakan. 

Terjemahannya mesti berbunyi: “Perjuangan dalam Gelap untuk Mencapai Terang.”

Tulisan penghantar ucapan hari Kartini yang kubaca di sebuah status WA. Sebuah koreksi atas penerjemahan tulisan Kartini yang ada sekarang "Habis Gelap Terbitlah Terang" dimana kutipan ini diteruskan dari generasi ke generasi.


Ada yang tidak benar menurut pemahamanku setelah membaca maksud dari tulisan aslinya. Aku baru memahami karena ini membuat perbedaan cukup signifikan.

"Perjuangan dalam Gelap untuk Mencapai Terang", kutipan inilah yang sesungguhnya mewakili apa yang dialami oleh Kartini.
Dalam kegelapan dan keterbelakangan masa bagi perempuan yang statusnya hanya sebagai 'kanca ing wingking" pada saat itu tentu saja tidak punya kekuatan, kuasa dan kemampuan untuk meningkatkan diri.
Boro-boro kesamaan gender, bahkan untuk menyatakan pendapatnya saja tidak bisa.
Beranjak dari situlah, seorang Kartini muda mulai mempertanyakan, menggugat dan menuliskan kegundahannya.
Rasa tidak berdayanya sebagai perempuan yang harus berhenti sekolah saat sudah akil balik sungguh membuatnya frustasi. Ia masih ingin meneruskan sekolah, berkarya dan berbagi pengetahuan tapi apa daya, ia harus tunduk pada aturan yang berlaku bagi kalangan ningrat.
Dalam kerisauannya, ia menuliskan gagasan dan ide-idenya. Berjuang agar bisa didengar dan ditanggapi.
Ia dan adik-adiknya membuat sekolah perempuan bagi anak-anak di luar Keraton. Mereka ingin agar perempuan Jawa bisa baca tulis dan berpendidikan.


Dalam gelap ketidakberdayaannya, Kartini terus berjuang menuju terang/cahaya. Cahaya bagi para perempuan agar mendapatkan pendidikan yang layak dan kesetaraan.

Karena Kartini meyakini bahwa di tangan seorang perempuan sebuah bangsa terbentuk.
Mendidik perempuan berarti mendidik generasi penerus yang memiliki budi pekerti yang baik.
Generasi yang bisa membawa bangsa ini maju dan menjadi terbaik.
Aku baru memahami bagaimana Kartini berjuang dalam keterbatasannya sebagai perempuan pingitan.*

Dan sekarang pokok-pokok pemikirannya telah menjadi pohon-pohon tinggi yang rindang.
Perempuan-perempuan Indonesia sudah terdidik bahkan ada yang menjadi presiden.
Walaupun ada sebagian yang masih belum tersentuh pendidikan di desa-desa jauh dan tertinggal namum banyak perempuan yang datang untuk membantu memberikan pengajaran.

Ada juga sekelompok kecil perempuan yang memilih untuk mundur ke belakang dengan berbagai macam alasan. Disitulah aku melihat bahwa perjuangan Kartini yang berjuang dalam kegelapan untuk mencapai terang sangat terasa.

Banyak perempuan mungkin merasa nyaman dan aman berlindung dalam kegelapan, mereka tidak memahami banyak bahaya yang mengintai dalam gelap, siap menerkam mereka untuk menjadikannya korban.

Perempuan,
Jangan jadikan diri kalian hanya sekedar berbicara dan mendebatkan hal-hal tidak perlu seperti :
✔ siapa yang lebih mulia melahirkan normal atau caesar
✔ siapa yang lebih baik apakah perempuan bekerja atau ibu rumah tangga
✔ apakah kalau Kartinian mesti pake kebaya atau tidak
Dan segala macam yang remeh temeh.
Fokus saja membangun diri. Menemukan minat dan bakat yang terbaik dari diri.
Sehingga kita berjalan menuju Cahaya Kehidupan.

Di mana hidup kita berdaya guna dan memiliki dampak bagi sesama.

Selamat Hari Kartini untuk Perempuan Indonesia. Tetaplah Kritis dan terus membangun diri.

*Pingit atau pingitan adalah salah satu tradisi dalam proses pernikahan adat Jawa, di mana calon pengantin perempuan dilarang ke luar rumah atau bertemu calon pengantin laki-laki selama waktu yang ditentukan. Biasanya, keduanya nggak boleh bertemu sampai acara pernikahan tiba. Tradisi ini wajib dilakukan oleh pengantin yang menikah dengan adat Jawa.

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.