1 menit membaca
23 Jun
23Jun
Suara Keheningan | RP. Inosensius Ino, O.Carm


Pernahkah Anda mencoba meniup debu kecil dari mata orang lain, sementara mata Anda sendiri justru tertutup balok yang besar? Yesus hari ini mengajak kita merenung dengan cara yang mengusik nurani:
"Mengapa engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau perhatikan?" Selumbar…
Kecil. Hampir tak tampak.
Namun cukup untuk menjadi alasan kita menghakimi, mencibir, menyalahkan. Terkadang, kita begitu ahli melihat kesalahan orang lain:
Nada suara yang tinggi, sikap yang tak menyenangkan, kelemahan yang terus diulang.

Tapi kita begitu buta pada suara hati sendiri yang kasar, ego yang membengkak, dan dosa yang dipelihara diam-diam. Yesus tidak melarang kita menasihati sesama.
Namun, Ia mengundang kita untuk menyelam lebih dalam ke kedalaman hati sendiri.

Ada balok besar di mata kita yang lebih dulu harus dikeluarkan—balok kesombongan, iri hati, dendam, luka yang tak sembuh karena tak diampuni. 
Adakah seseorang dalam hidupku yang selama ini menjadi target penghakiman batinku?

Adakah selumbar yang kubicarakan, padahal aku sendiri menyembunyikan balok? Dalam bacaan pertama, Abram dipanggil Allah untuk pergi dari tanah kelahirannya.
Sebuah perjalanan iman.
Pergi dari kenyamanan.

Pergi dari zona yang membuatnya merasa cukup aman, tapi tak membuatnya bertumbuh. Dan bukankah mengakui balok di mata sendiri adalah sebuah ziarah iman juga?
Pergi meninggalkan ego,
pergi meninggalkan pembenaran diri,
pergi dari nafsu mengoreksi orang lain
menuju pertobatan dan kerendahan hati yang sejati. Tuhan tidak memanggil kita untuk menjadi hakim.
Ia memanggil kita untuk berjalan, seperti Abram, menuju tanah yang baru:
tanah di mana kasih menjadi ukuran,
di mana pengertian mendahului penghakiman,
dan di mana kita berani berkata,
"Ampunilah aku, Tuhan, sebab aku sendiri belum bersih." 

Dalam dunia yang bising dan penuh komentar,
Tuhan mengajak kita hening.

Dalam dunia yang cepat menuding,
Tuhan mengajak kita menunduk, bercermin, lalu berdoa,
"Tuhan, ambillah balok dari mataku, agar aku dapat melihat sesamaku dengan belas kasih-Mu." Karena hanya mata yang jernih oleh pertobatan,
yang mampu melihat selumbar bukan sebagai aib,
melainkan sebagai undangan untuk mengasihi lebih dalam dengan memahami, mengampuni dan mendoakan.


Tuhan, bersihkan mataku…
Agar aku bisa melihat Engkau…
Dalam sesamaku yang rapuh…
Dan dalam diriku yang juga butuh belas kasih.

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.