2 min dibaca
02 May
02May
Suara Keheningan | RP. Inosensius Ino, O.Carm

1 Mei – Pembukaan Bulan Maria 

Hari ini, kita mengawali Bulan Maria, bulan penuh rahmat di mana seluruh Gereja Katolik menaruh perhatian khusus pada Bunda Maria. Di banyak tempat, malam ini akan dinyalakan lilin, didaraskan Rosario, dan dinaikkan kidung-kidung pujian bagi sang Bunda. Namun, kiranya lebih penting lagi: bukan hanya bibir kita yang berdoa, tetapi juga hati kita yang meneladan.

Tahun ini, dalam terang Tahun Yubileum yang telah ditetapkan oleh Gereja sebagai Ziarah Pengharapan, kita diajak untuk memaknai kembali hidup kita sebagai suatu perjalanan iman menuju kepenuhan janji Allah. Dan siapa yang lebih layak kita pandang sebagai penuntun dalam ziarah ini selain Bunda Maria—perempuan yang menghayati setiap langkah hidupnya sebagai peziarah iman, peziarah pengharapan. Dalam terang bacaan hari ini, kita melihat bagaimana ketaatan kepada Allah menjadi pilihan yang tidak mudah, tetapi mutlak. 

Dalam Kisah Para Rasul 5:27-33, Petrus dan para rasul berdiri di hadapan Mahkamah Agama. Mereka ditegur, diancam, bahkan diadili karena memberitakan Yesus. Tapi Petrus, dengan keberanian ilahi, berkata: "Kami harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia." Kalimat ini sungguh berani. Dalam dunia yang penuh kompromi dan ketakutan, Petrus menyuarakan iman yang tak bisa dibungkam. Ia tahu, ketaatan kepada Allah akan membuatnya dibenci oleh manusia, tetapi itulah harga kebenaran. Saudara-saudari, kata-kata ini tidak berhenti di mulut Petrus. Ia bukan hanya berkata, tetapi juga hidup di dalamnya. Dan ternyata, semangat itu hidup pula di banyak orang kudus dan saksi iman sepanjang zaman. 

Saya teringat akan seorang uskup Jerman yang luar biasa: Kardinal Clemens August Graf von Galen. Pada masa kekuasaan Nazi, ia berdiri di mimbar dan berkhotbah menentang kekejaman, ketidakadilan, dan penghinaan terhadap martabat manusia. Ia tahu bahwa setiap kata bisa membawanya pada penjara atau kematian. Tapi ia berkata: "Lebih baik aku mati karena berkata benar, daripada hidup dalam diam yang mematikan." Dan ketika ia wafat, di atas batu nisannya ditulis kalimat yang sama seperti kata-kata Petrus: "Man muss Gott mehr gehorchen als den Menschen." (Orang harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia.) 

Inilah semangat yang juga hidup dalam Bunda Maria. Maria memang tidak berkhotbah seperti Petrus atau Kardinal von Galen. Ia tidak berbicara di hadapan mahkamah atau mimbar. Tapi Maria menghidupi ziarah pengharapan itu dalam diam dan ketaatan. Ketika malaikat datang membawa kabar ilahi, Maria menjawab dengan keheningan yang mengguncangkan surga: "Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataan-Mu." 

Perkataan itu sederhana, namun di baliknya ada keberanian, ada iman, ada kerelaan menanggung risiko. Dunia mungkin tidak memahami kehamilannya. Yusuf hampir meninggalkannya. Tapi Maria tetap berdiri dalam ketaatan. Dia tidak minta dijelaskan segalanya. Dia cukup tahu bahwa yang memanggilnya adalah Allah. Maka, ziarah pengharapannya dimulai dari Nazaret, menembus gelap dan terang hidup, hingga Kalvari dan ruang kosong di hari kebangkitan. 

Bulan Maria, karena itu, tidak hanya waktu untuk lebih banyak Rosario atau lagu pujian—meskipun itu semua baik dan mendalam. Tetapi juga bulan ini adalah undangan untuk berziarah bersama Maria: melangkah dalam pengharapan, meski dunia menolak dan hidup terasa tak pasti. Bacaan Injil hari ini dari Yohanes 3:31-36 menegaskan bahwa Yesus datang dari atas, dari surga, dan karena itu Ia memiliki otoritas ilahi. Tapi Yohanes juga jujur berkata: "Tidak seorang pun menerima kesaksian-Nya." 

Mengapa? Karena kebenaran itu terang, dan terang membuat orang yang biasa hidup dalam gelap menjadi gelisah. Dunia ingin Yesus yang bisa disesuaikan, bukan Yesus yang memanggil untuk berubah. Tapi Injil hari ini juga memberi penghiburan: "Barangsiapa percaya kepada Anak, ia beroleh hidup yang kekal." Jadi, kita yang perlu berubah menjadi seperti Yesus dan bukan menuntut Yesus berubah seturut kemauan kita. Maria percaya. Ia tidak menuntut penjelasan, ia tidak menunggu segalanya aman. Ia melangkah dalam iman. 

Maka, ia beroleh bagian dalam hidup kekal, dan menjadi Bunda Gereja. Ia menjadi ikon umat beriman sejati—bukan karena tidak pernah bingung, tapi karena tetap taat walau tidak mengerti, dan tetap berharap walau belum melihat akhir perjalanan. Saudara-saudari terkasih, Dalam pembukaan Bulan Maria dan Tahun Yubileum ini, mari kita menaruh tiga tekad sederhana namun mendalam, agar ziarah pengharapan kita sungguh menjadi nyata bersama sang Bunda: 

1. Belajar mendengarkan dalam keheningan.

Maria adalah wanita yang menyimpan segala sesuatu dalam hati. Di tengah dunia yang bising, mari kita sediakan waktu untuk doa pribadi, merenungkan sabda, dan mengenali suara Tuhan dalam diam. Ziarah pengharapan butuh telinga batin yang peka. 

2. Berani taat meski harus menanggung risiko.

Petrus, Kardinal von Galen, dan Maria—semuanya menunjukkan bahwa ketaatan kadang membuat kita sendirian. Tetapi justru di sana, kasih kepada Allah dimurnikan. Ziarah pengharapan bukan jalan nyaman, tapi jalan iman yang teguh. 

3. Membawa Yesus dalam keseharian.

Maria membawa Yesus ke rumah Elisabet, dan ke seluruh dunia. Kita pun dipanggil untuk menghadirkan Yesus melalui tindakan kecil kita—dalam keluarga, pekerjaan, bahkan media sosial. Ziarah pengharapan tidak selalu spektakuler, tetapi selalu setia. Saudara-saudari, selama bulan ini, ketika tangan kita memegang Rosario, semoga hati kita semakin erat menggenggam ketaatan seperti Maria. 

Semoga kita berani berkata: "Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut kehendak-Mu." Dan ketika dunia menolak kebenaran, semoga kita tetap setia berkata bersama Petrus dan para saksi iman: "Kami harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia." 

Karena dalam setiap langkah ketaatan yang hening dan tersembunyi, kita sedang menapaki ziarah pengharapan menuju Allah yang setia.

P. Ino, O.Carm – Mageria, 1 Mei 2025 

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.