Suara Keheningan | RP. Inosensius Ino, O.Carm
Ada saat dalam hidup kita ketika kita merasa gagal. Kita mungkin pernah menyangkal, pernah takut, pernah memilih diam, atau bahkan lari. Namun, di tengah kelemahan itu, ada tangan yang tetap mengulurkan kasih. Itulah tangan Yesus yang bangkit. Dan dari tangan-Nya mengalir kekuatan baru yang mengubah rasa malu menjadi keberanian, kegagalan menjadi misi, dan penderitaan menjadi sukacita.
'Tiga bacaan hari ini berbicara tentang perjalanan kasih itu—kasih yang memulihkan, yang mengangkat, dan yang mengutus. Mari kita mulai dari tepi danau, dari kisah dalam Injil Yohanes. Para murid kembali ke pekerjaan lama mereka: menangkap ikan. Seolah-olah, setelah semua peristiwa dramatis di Yerusalem, mereka hanya ingin melupakan.
Petrus, yang pernah bersumpah akan setia tapi akhirnya menyangkal Yesus tiga kali, kini memilih diam dan kembali ke perahu. Namun Yesus tidak membiarkan dia larut dalam kegagalan. Di tepi danau, Yesus menyalakan api dan menyiapkan sarapan. Itu bukan sekadar makanan. Itu adalah sapaan lembut: "Aku masih di sini. Aku tidak menyerah atasmu." Dan di situlah, dalam percakapan yang sangat pribadi, Yesus bertanya: "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?"
Bukan sekali. Tapi tiga kali—sebanyak Petrus menyangkal. Bagi Yesus, kasih adalah awal baru. Dan dari kasih itu, Ia mengutus: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” Inilah wajah kasih yang memulihkan: Ia tidak menuntut kesempurnaan, tapi mengundang keterbukaan hati. Ia tidak menyoroti masa lalu, tapi memberi masa depan. Petrus tidak hanya diampuni, ia diutus.
Lalu kita berpindah ke Kisah Para Rasul. Petrus yang dulu gemetar kini berdiri tegak di hadapan Mahkamah Agama. Ia tak lagi takut. Katanya: “Kami harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia.”
Penderitaan bukan lagi aib, tapi kehormatan. Mereka bahkan bersukacita karena dianggap layak menderita demi nama Yesus. Apa yang mengubah Petrus dan para rasul? Bukan sekadar pengalaman, tetapi perjumpaan dengan Dia yang bangkit. Perjumpaan itu mengubah luka menjadi sumber kekuatan.
Mengubah rasa bersalah menjadi misi. Mereka tahu bahwa hidup mereka kini bukan lagi milik sendiri. Mereka adalah saksi. Dan Roh Kudus menyertai mereka dalam keberanian.
Akhirnya, kita diajak menengadah ke surga bersama penulis Kitab Wahyu. Dalam penglihatannya, ia melihat takhta dan jutaan malaikat memuji Anak Domba—Yesus yang disembelih tetapi hidup. Segala pujian dan kemuliaan diberikan kepada-Nya. Di surga, Dia dimuliakan. Di bumi, Dia diwartakan. Dan di hati manusia, Dia tinggal bersama kasih.
Mengapa Anak Domba disembah? Karena Ia telah menyerahkan segalanya. Dan justru karena luka-Nya, kita semua diselamatkan. Ia tidak menggunakan kuasa-Nya untuk memerintah dengan kekerasan, melainkan untuk menyelamatkan dengan kasih. Inilah pesan Paskah yang sejati: kasih adalah kekuatan yang paling besar. Kasih yang memanggil kita kembali, memulihkan luka kita, dan mengutus kita. Kasih yang tidak memaksa, tapi mengajak. Kasih yang memberi keberanian untuk tetap bersaksi, bahkan ketika dunia menolak.
Hari ini, mungkin kita merasa seperti Petrus: pernah gagal, pernah menyangkal, pernah lari. Tapi Yesus tetap datang. Ia menyalakan bara di tepi danau hati kita, menghidangkan kasih, dan bertanya dengan lembut: "Apakah engkau mengasihi Aku?" Dan kalau kita berani menjawab, walau dengan hati yang gentar: “Tuhan, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau,” maka seperti Petrus, kita pun akan diutus. Bukan karena kita sempurna, tapi karena kita dikasihi. Maka marilah kita berjalan lagi, bukan dengan beban masa lalu, tetapi dengan kekuatan dari kasih yang bangkit.
Dunia butuh kesaksian kita. Dunia butuh wajah-wajah yang telah disentuh kasih dan berani berkata: “Aku adalah saksi kasih-Nya.”