1 min dibaca
02 Apr
02Apr
Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm

Menjadi profesor itu jelas bukan target hidup buatku. Hampir semua profesor itu bergelar doktor. Titel akademis itu saja tidak aku miliki. Mustahil jadi profesor.

Waktu aku memoderatori pembicara, seorang doktor yang cerdas, tampan, dan berambut "klimis" serta berbaju necis, ada yang berseloroh. "Pembicaranya sudah doktor dan tidak botak-botak. Moderatornya botak, tetapi tidak doktor-doktor." (Pengulangan itu ungkapan bahasa Jawa yang menunjuk pada proses menjadi; bukan kata jamak).

Aku puas dan bahagia jadi guru. Frater Timotheus, BHK, dosen Sejarah Gereja, membandingkan guru dan profesor. Guru itu tahu sedikit tentang banyak. Generalis. Sedangkan profesor itu tahu banyak tentang sedikit. Spesialis.

Frater dari Belanda yang tingginya lebih dari 2 meter itu benar. Guru itu dituntut bisa menjawab pertanyaan tentang banyak hal. Jawaban tidak detil. Sedang seorang profesor mesti menjawab pertanyaan tentang satu hal sedetil-detilnya. Mendalam.
Masyarakat membutuhkan keduanya. Guru mengajar murid pada tingkat dasar dan menengah. Bukan hanya mengajar dan mendidik, melainkan juga membentuk karakter.

Seorang profesor mengajar mahasiswa di perguruan tinggi. Ada yang "undergaduate" dan ada yang "post graduate" atau malah kandidat doktor.
Profesor itu amat spesifik. Begitu khas dan detilnya, hingga ada bahaya kehilangan konteks dunia nyata. Itu ada anekdotnya.

Seorang profesor doktor berkunjung ke rumah tetangganya di waktu petang. Tetiba hujan deras dan berjam-jam tidak reda. Tuan rumah menawarkan agar sang tamu menginap. Sang profesor setuju. Dia buru-buru pulang, mengambil piyama dan dalam keadaan basah kuyup kembali; lalu tidur di rumah tetangganya. "Oalah prof...prof!"

Salam dan Tuhan memberkati.
SOHK, Minggu 2 April 2023AlherwantaRenalam 092/23

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.