1 min dibaca
10 Jun
10Jun
Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm

Ayahku terkasih wafat pada bulan Februari 2005 dalam usia 76 tahun. Saat beliau berbaring di rumah sakit, aku sempat memberikan sakramen minyak suci. Pada detik-detik terakhir hidup beliau, kami, semua anak sempat berkumpul di sekitar tempat tidur beliau; berdoa. 

Beliau wafat dalam keadaan tenang dan damai. Kami tidak menduga bahwa beliau akan pergi secepat itu. Namun, kami semua ikhlas. Tidak seperti waktu ibu wafat (2019), pada misa requiem ayah, aku meneteskan air mata kesedihan. Ikhlas berbeda dari tidak bersedih.

Meski aku tidak sangat dekat dengan beliau seperti saudara-saudariku yang lain (karena sejak lulus SMP tidak tinggal di rumah lagi), aku merasakan kasih, perhatian, dan pengorbanan beliau yang amat khusus untukku.

Sebagai anak kelas dua SD yang belum bisa membaca, aku sungguh merepotkan beliau yang harus dengan tekun mengajariku mengeja I-ni I-bu Bu-di. Karena bodoh dalam berhitung, setiap liburan, aku harus mengerjakan banyak PR berhitung. Hanya bila aku telah mengerjakannya secara benar, aku boleh bermain dengan teman di luar rumah.

Karena tidak mampu menyediakan kalkulator yang harganya mahal, beliau menyediakan alat bantu berupa banyak potongan lidi pendek yang jumlahnya lebih dari jumlah jari tangan dan kakiku.

Waktu libur, aku diajak pergi mengunjungi Keraton Yogyakarta, Museum Sonobudoyo, Candi Prambanan, dan candi lain di sekitarnya. Sewaktu aku mengalami krisis panggilan di Seminari Mertoyudan, beliau datang, menunggu sepanjang hari karena waktu itu aku kebetulan main keluar kota. Beliau meneguhkan aku.

Tidak berhenti di situ. Ketika aku menjalani tahun orientasi pastoral (TOP) di paroki Lodalem, Malang Selatan, yang waktu itu susah dijangkau kendaraan umum, beliau mengunjungiku dan menginap di pastoran. Sesudah aku ditahbiskan dan ditugaskan di Jember, beliau pun datang mengunjungiku.

Sudah lebih dari 18 tahun kami terpisah. Namun, aku merasa beliau masih dekat lewat doa-doa beliau dan doa-doaku. Beliau berbeda dari ibuku yang kasihnya sepanjang masa. 

Namun, aku sungguh merasakan bahwa beliau itu seorang ayah dan pendidik sejati yang disiplin sekaligus penuh kasih. Warisan yang ditinggalkan bukan harta kekayaan, melainkan pendidikan yang tidak lekang oleh zaman dan tidak dapat dirampas oleh kejahatan. (Maaf, kalau catatan memori ini mengganggu sahabat Renalam).

Salam dan Tuhan memberkati.
SOHK, Jumat 9 Juni, 2023AlherwantaRenalam 159/23

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.