1 min dibaca
04 Jun
04Jun

Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm

Kitab Suci berbicara tentang hampir seluruh pengalaman hidup umat manusia. Suka-duka, kegagalan dan keberhasilan, kesucian dan dosa. Kitab Suci mewartakan Tuhan yang ilahi,  sekaligus membicarakan tentang nilai-nilai manusiawi. KeTuhanan tak terpisahkan dari kemanusiaan. Pengalaman konkret tentang indahnya hidup berkeluarga juga ada di sana.

Keluarga Tobit bisa diangkat sebagai salah satu contohnya. Hana, isteri Tobit dan ibu dari Tobia adalah sosok ibu pada umumnya. Hatinya amat dekat atau melekat pada anak. Ketika anaknya berada di tempat yang jauh pun dia tetap hadir lewat hatinya. "Pada waktu itu duduklah Hana mengamati jalan yang harus ditempuh anaknya. Iapun telah mendapat firasat bahwa anaknya tengah datang. Berkatalah Hana kepada ayah Tobia:"Sungguh anakmu tengah datang dan juga orang yang menyertainya" (Tob 11: 5-6).

Betapa bahagia Hana dapat melihat kembali anaknya. Itu bagai bekal untuk memasuki kematiannya. "Setelah engkau kulihat, anakku, maka mulai sekarang aku dapat mati" (Tob 11: 9). Tobit yang matanya telah disembuhkan oleh Tobia pun berkata, "Aku melihat engkau, anakku, cahaya mataku" (Tob 11: 13). Betapa bernilainya anak bagi kedua orangtuanya.

Pertemuan antara kedua orangtua dan anaknya yang baru pulang dari pergi jauh amat membahagiakan. Kebahagiaan itu membuat Tobit berkata, "Terpujilah Allah, terpujilah nama-Nya yang besar, terpujilah para malaikat-Nya yang kudus. Hendaklah nama Tuhan yang besar ada di atas kita dan terpujilah hendaknya segala malaikat untuk selama-lamanya. Sungguh aku telah disiksa oleh Tuhan, tetapi kulihat anakku Tobia!" (Tob 11: 14).

Bagi Tobit siksa yang telah dialami hilang efeknya, tatkala dia berjumpa dengan Tobia dalam keadaan selamat. Apalagi Tobia menyembuhkan mata Tobit yang sebelumnya buta. Orangtua itu berbahagia melihat anaknya sehat, selamat dan hidupnya bermanfaat. Sebaliknya, mereka bersedih menyaksikan kegagalan hidup anak-anaknya. Karena itu, Kitab Suci mengajarkan supaya orangtua mendidik anaknya agar jadi bijaksana dan mengajar supaya anak-anak untuk mencintai serta menghormati orangtuanya.

Berbahagialah orangtua yang mempunyai anak yang mencintai dan menghormatinya. Bersyukurlah anak-anak yang hati kedua orangtuanya dekat dan melekat kepadanya.

Kalau orangtua begitu bahagia menyaksikan keselamatan dan keberhasilan anak-anaknya, bagaimana dengan Tuhan yang menciptakan manusia? Bukankah Dia juga menghendaki agar mereka selamat dan sejahtera? 

Manusia itu menjadi alasan "kebahagiaan" Tuhan yang bertindak lebih mengasihi daripada orangtua.

Jumat, 4 Juni 2021 | RP Albertus Herwanta, O. Carm.

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.