1 min dibaca
03 Jan
03Jan
Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm


Setelah memperoleh berkat dan pemberian dari Tuhan, sepantasnya orang mengucap syukur. Lazim bahwa mereka yang meraih sukses dalam hidupnya mengadakan acara syukuran. Bukankah sukses itu juga pemberian?

Amat mudah mengucap syukur untuk hal-hal positif, menyenangkan, dan tampak jelas. Tidak demikian ketika menyangkut hidup sehari-hari yang tampak biasa-biasa saja. Misalnya, dalam menyikapi anugerah hidup sehat.

Hanya sedikit yang secara sadar dan rutin bersyukur atas anugerah itu. Bahkan sebagian orang menganggapnya sebagai yang sudah semestinya layak mereka terima.

Baru saat sedang menderita sakit, orang menyadari betapa berharganya kesehatan. Suami kerap menganggap sudah semestinya isteri melakukan tugas dan kewajibannya. Sebaliknya, isteri berpendapat bahwa suami seharusnya mencukupi kebutuhan keluarga. Berapa kali mereka saling mengucapkan terima kasih atas kebaikan pasangannya?

Banyak hal luar biasa yang ketika diulang-ulang seakan kehilangan keistimewaannya. Karena semua itu biasa, tidak ada alasan untuk mensyukurinya.

Ketika anak masih kecil, orangtuanya menanam dalam dirinya sikap ucapan syukur. Setiap kali anaknya menerima pemberian, orangtuanya meminta si anak untuk berkata, "Terima kasih."

Pendidikan itu umumnya berhasil baik. Namun mengajar orang untuk mengucap syukur dan terima kasih kepada Tuhan jauh lebih sulit. Kepada Tuhan, kebanyakan orang lebih mengajukan keluhan dan permohonan daripada memuji-Nya dan mengucap terima kasih kepada-Nya.

Sesungguhnya, hidup ini adalah pemberian. Demikian pun semua yang menyertai adalah anugerah-Nya. Bukankah itu berarti bahwa setiap saat adalah waktu yang tepat untuk bersyukur? Tentu, pada penghujung tahun ini amat baik kita melihat kembali seluruh pemberian Tuhan. Apakah itu telah disyukuri?

Salam dan Tuhan berkati.
Sabtu, 30 Desember 2023AlherwantaRenalam 357/23

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.