Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Perjumpaan antar manusia banyak terjadi hanya pada tingkat permukaan. Orang menyebutnya tatap muka. Yang bertemu hanya wajahnya. Sebagian orang hadir dalam suatu pertemuan sekadar ingin "setor muka" alias hatinya tidak di sana.
Banyak kepribadian yang diciutkan pada informasi yang tertulis pada kartu identitas (KTP, paspor, SIM, dan lain-lain). Bisa lebih ekstrem dari itu, pada era "chip" ini, manusia tinggal nomor digital saja. Dengan membuka nomor itu, seakan seluruh diri seseorang dapat dikenali. Pribadi manusia tetiba amat miskin.
Media sosial ikut mempromosikan budaya permukaan itu. "Viral" menjadi ukuran terkenal. Banyak yang mengabaikan kualitas dan kedalaman. Semakin riuh dan ramai yang merespon, semakin orang merasa sudah dikenal.
Yang dikenal hanyalah yang di permukaan; "superficial" alias tidak menyentuh yang esensial. Mengutamakan yang dangkal dan mengabaikan kedalaman membuat hidup tak berakar. Bukankah akar tersembunyi dan berada di kedalaman?
Indahnya pohon memang dilihat pada batang, daun, bunga, dan buahnya. Semua itu datang lewat akar yang bekerja keras di kedalaman. Tidak ada keindahan sejati tanpa kedalaman.
Tanpa akar yang kuat pohon akan mudah tumbang saat diterpa angin. Demikian pula pribadi yang tanpa kedalaman. Itu berlaku pula untuk masyarakat dan negara.
Membangun pribadi dan masyarakat yang mendalam menuntut waktu, proses, dan upaya yang panjang. Orang perlu sabar dan bertekun. Walau itu kini terasa jauh lebih sulit dipenuhi, tetap tidak boleh diabaikan.
Para pendiri bangsa ("founding fathers") adalah pribadi yang mendalam dan berakar dalam ilmu dan pengalaman hidup. Wawasan mereka luas dan karenanya disegani. Masihkah kita punya harapan bakal memiliki generasi muda yang demikian, penopang masa depan bangsa dan negara?
Salam dan Tuhan memberkati.
SASL, Selasa 7 Februari 2023AlherwantaRenalam 038/23