2 min dibaca
23 May
23May

Suara Keheningan | RP. Vincent Delo Betu, O.Carm

Menara Babel? Ini bukan tentang jarak waktu yang panjang, tetapi lebih pada soal isi pesan dari catatan Alkitab yang kita tangkap sebagai FIRMAN ALLAH. Menara Babel mengisahkan kehidupan manusia setelah  zaman nabi Nuh. 

Pada waktu itu manusia, keturunan Nuh telah berkembang menjadi banyak, mereka masih mempunyai satu bahasa dan logat yang sama. Kemudian, mereka bersepakat untuk membangun sebuah kota dengan menara yang puncaknya sampai ke langit. 

Nampaknya Tuhan tidak menghendaki rencana manusia tersebut, “Baiklah Kita turun dan mengacaubalaukan di sana bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing.” Dan sejak saat itu tersebarlah manusia ke seluruh bumi. Apakah ini fakta sejarah? Tentu tidak. 

Tetapi sebagai sebuah pesan spiritual: ini  adalah sebuah kebenaran, yang mampu menggerakan indra batin kita, untuk menangkap pesan di balik Firman di dalam Perjanjian Lama. Tentu kisah ini bisa menjadi jawaban atas pertanyaan tentang banyaknya bahasa dan budaya di muka bumi. 

Konon kisah ini  untuk menjawab pertanyaan manusia berkaitan dengan banyaknya bahasa dan budaya yang ada di muka bumi saat ini. Babel adalah sebuah peringatan tentang superioritas banggsa yang over-dosis. 

Pada satu sisi, orang memandang budayanya paling tinggi, terhormat dan patut disembah, bahkan sampai pada kenyataan lahirnya kelas-kelas yang bisa dikategorikan sebagai bangsa budak yang menjadi hamba sahaya. Di sisi lain, kisah Menara Babel bisa dilihat sebagai ekspresi ketakutan manusia yang tidak mau keluar dan berbagi. 

Membangun tembok pemisah yang kokoh dengan menara menuju ke langit agar bisa bertemu “tuhan mereka.” Babel adalah contoh manusia yang gagal memahami rencana Tuhan tentang maksud penciptaan agar memenuhi muka bumi (bdk. Kej 1:28).

Babel dihancurkan karena Allah menghendaki keanekaragaman. Dan maksud Allah itu dalam perkembangan selanjutnya ditunjukan melalui peristiwa PENTAKOSTA: Lukas mencatat perjumpaan Yesus dengan para murid selama 40 hari secara berulang-ulang untuk membuktikan bahwa diri-Nya hidup.  

Lalu dalam sebuah kesempatan makan bersama, Ia memerintahkan para murid agar tinggal di Yerusalem menantikan turunnya Roh Kudus (bdk. Kis.1:3-5). Dan hari itupun tiba. Tepat di hari Pentakosta orang Yahudi: Hari syukur panen. 

Hari yang dikuduskan untuk Tuhan karena hasil panen. Semua pekerjaan dihentikan, untuk datang beristirahat bersama Tuhan di KenisahNya yang kudus, Yerusalem.

Suara gemuruh yang menggelegar

Orang-orang berlarian ke arah datangnya suara itu dan tercenganglah mereka. Bagaimana mungkin orang Galilea yang tidak berpendidikan, mampu berkata-kata dalam berbagai macam bahasa asing. 

Sesuai dengan bahasa para pendengarnya, bahasa ibu, bahasa tanah tumpah darah mereka.“Kita orang Partia, Media, Elam, penduduk Mesopotamia, Yudea dan Kapadokia, Pontus dan Asia, Frigia dan Pamfilia, Mesir dan daerah-daerah Libia yang berdekatan dengan Kirene, pendatang-pendatang dari Roma, baik orang Yahudi maupun penganut agama Yahudi, orang Kreta dan orang Arab, kita mendengar mereka berkata-kata dalam bahasa kita sendiri tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah.”

Pentakosta bagi saya adalah bukti yang memperlihatkan 4 hal berikut ini: 

1. Tuhan menghendaki semua suku bangsa mengenal perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib. 

2. Tuhan sangat menghargai keunikan bahasa-bahasa yang ada di muka bumi ini. 

3. Tuhan mengharuskan para rasul berbicara dalam bahasa-bahasa asli para pendengar.

4. Pentakosta adalah cikal bakal TEOLOGI KONTEKSTUAL.

Dari sinilah kita sadar bahwa semua manusia adalah orang-orang yang dikasihi, dan dilahirkan di tempatnya dengan maksud istimewa dari Allah.Israel adalah Tanah Terjanji buat orang-orang Yahudi sama dengan semua tempat kita adalah tanah terjanji yang dipilih dan ditentukan Allah buat kita. Maka berbanggalah dengan tanah kelahiranmu, dengan bahasamu dan dengan budayamu.

Peristiwa Pentakosta memperlihatkan secara amat jelas bahwa Tuhan tidak berbahasa tunggal, tidak ada bahasa penguasa dan bahasa budak, tidak ada bahasa suci dan bahasa kafir. Tuhan mengakui semua bahasa sebagai sarana untuk memuliakan Dia. Antara Babel dan Pentakosta: kita belajar tentang bahasa agung dan mulia yaitu CINTA KASIH.

Muara bungo-Jambi 23/05/21 @vincentbetuocarm@


Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.