Suara Keheningan | RP. Inosensius Ino, O.Carm
Ada perjalanan yang lebih dalam dari sekadar langkah kaki. Ada ziarah yang tidak hanya melewati jalan berbatu, melainkan melintasi lembah hati dan gunung pengampunan.
Dan hari ini, dalam terang firman Tuhan, kita semua sedang menziarahi kasih. Bacaan hari ini, dari Kisah Para Rasul 15:22–31 dan Yohanes 15:12–17, bukan sekadar cuplikan sejarah dan sabda. Mereka adalah peta ziarah kita sebagai komunitas muda Katolik—yang sedang melangkah menuju Yubileum, tahun suci rahmat, pertobatan, dan pembaruan.
Umat yang Berani Bersatu
Mari kita mulai dari Kisah Para Rasul. Di sana, kita melihat jemaat mula-mula, yang baru saja lahir dari api Pentakosta, menghadapi perselisihan. Ada pertanyaan besar yang mengguncang mereka: Haruskah orang non-Yahudi disunat agar selamat? Apa yang mereka lakukan?
Mereka tidak terburu-buru menghakimi. Mereka tidak saling menyerang di balik layar. Mereka berziarah bersama dalam mendengar, mendoakan, dan akhirnya memutuskan—bersama-sama—bahwa keselamatan adalah kasih karunia, bukan aturan kaku semata. Mereka menulis surat. Mereka mengutus orang. Mereka membangun jembatan.
Dan ketika surat itu sampai ke Antiokhia, umat yang tadinya gelisah menjadi tenang. Kenapa? Karena keputusan itu lahir dari kasih, bukan kekuasaan. Dari kesatuan, bukan paksaan.
Sabda Cinta dari Sang Sahabat
Lalu kita tiba di Injil Yohanes. Dan di sana, Yesus menyampaikan sabda yang menjadi jiwa dari seluruh ziarah kita: "Inilah perintah-Ku: Kasihilah seorang akan yang lain, seperti Aku telah mengasihi kamu." Kita tidak hanya diminta untuk menyukai, atau berbuat baik bila perlu.
Kita diperintah untuk mengasihi dengan kasih seperti Kristus—kasih yang rela terluka, kasih yang tetap mencintai bahkan saat disangkal. Dan sabda-Nya tidak berhenti di sana: "Aku menyebut kamu sahabat..."
"Kamu bukan yang memilih Aku, melainkan Akulah yang memilih kamu." Teman-teman, ini adalah intisari ziarah iman kita: Kita adalah sahabat Kristus, bukan karena kita layak, tapi karena kasih-Nya lebih dulu memilih kita.
Ziarah Yubileum: Perjalanan Menuju Hati yang Baru Sekarang, mari kita pandang perjalanan kita sebagai ziarah menuju Yubileum. Yubileum bukan sekadar perayaan lima puluh tahun sekali. Ia adalah panggilan untuk kembali—kembali ke hati yang mengasihi, hati yang mau bersatu, hati yang tahu bahwa hidup ini bukan tentang siapa yang paling hebat, tapi siapa yang paling mau mengampuni, menyapa, dan melayani. Sekolah kita, komunitas kita, kelas kita—adalah perhentian-perhentian dalam ziarah ini.
Dan di tiap perhentian, kita diuji:
Ziarah Yubileum bukan hanya tentang berjalan ke basilika suci. Ziarah itu terjadi di lorong kelas, di meja makan, di ruang OSIS, di chat WhatsApp—di mana kita memilih kasih alih-alih kebencian, memilih mendengarkan alih-alih menuduh.
Dipilih untuk Buah yang Tetap
Yesus berkata: "Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah, dan buahmu itu tetap." Bukan buah nilai semata. Bukan hanya prestasi.
Tapi buah kasih. Buah persahabatan sejati. Buah keberanian untuk menjadi terang di tengah gelapnya ego. Yubileum adalah panggilan untuk menghasilkan buah yang bertahan, bukan hanya yang tampak sesaat.
Dan itu dimulai dengan hal-hal kecil:
Penutup: Marilah Kita Menjadi Peziarah Kasih
Di jalan ziarah ini, kita bukan turis yang sekadar lewat. Kita adalah peziarah kasih. Dan setiap peziarah harus memutuskan: Apakah aku akan melanjutkan perjalanan meski hati lelah? Apakah aku akan tetap mengasihi meski yang lain memilih membenci? Yesus telah memilih kita. Ia menyebut kita sahabat. Dan Ia telah memimpin langkah, menyusuri jalan salib kasih-Nya.
Kini, giliran kita untuk melangkah. Mari kita menjadi komunitas yang menziarahi kasih,
yang berani berbeda karena kita mencintai,
yang berani bersatu karena kita percaya pada salib yang menyatukan. Dan ketika akhirnya kita sampai di gerbang Yubileum,
kita tidak datang dengan tangan kosong,
tapi dengan hati yang penuh kasih,
buah-buah yang tumbuh dari peluh, air mata, dan senyum yang kita bagikan di sepanjang jalan.